Kamis, 13 Juni 2013

tentang kita



Tentang Kita
Telah banyak yang tertulis di atasku. Kata orang aku surat cinta, aku sulaman kata-kata yang bila di baca membuat banyak pipi merona. Tapi sudahlah, biarkan mereka menyebutku apa, bukankah sebutan tidak begitu penting? Meski begitu, andai saja mereka tahu, aku lebih suka di sebut catatan sederhana saja, bukan surat cinta, bukan pula kata-kata gombal yang telah meluber di mana-mana.
Tak banyak makhluk sejenisku yang bernasib seberuntung diriku. Nyaris semua kata-kata yang tertulis di atasku menceritakan tentang perasaan yang terpendam, perihal kerinduan yang tak pernah selesai. Aku juga pernah berlayar, melewati aliran sungai yang begitu tenang di antara gemerlap berbagai cahaya; rembulan, pun juga taburan bintang.
Biar kuceritakan semuanya dari awal, tentang keberuntunganku, tentang mengapa aku lebih suka di sebut catatan sederhana saja dan bukan surat cinta:
Di antara rembulan yang tengah bersinar sempurna, bagian-bagianku senantiasa tercipta. Kata demi kata tersusun menjadi ungkapan rasa yang terpendam sekian tahun lamanya. Tiap kali purnama, satu bagianku sempurna tercipta. Satu, dua, begitu seterusnya hingga hitunganku berhenti di angka lima puluh lima.
Aku tak pernah tahu mengapa bagianku berhenti begitu saja di angka itu. Mungkin angka spesial, atau mungkin ada hal yang menimpa penyusunku selama ini. Sebab, di akhir bagianku, tak kudapati lagi bara semangat dari penantian dan pengembaraan yang melelahkan. Yang kutemui hanya kata-kata pasrah yang menyedihkan tentang akhir sebuah kerinduan yang tak tertunaikan.
Namun dari hal itulah kisahku bermula. Bagian-bagianku dikumpulkannya menjadi satu, di lipat, kemudian aku dibuatnya menjadi sebuah perahu kertas. Ya, sebuah perahu kertas yang kemudian ia layarkan di antara aliran air sungai yang begitu tenang. Aku berlayar bebas, meski sedikit oleng sebab beban yang ku pikul; buku diary, dan sebuah kotak hijau yang entah berisi apa.
Aku terus berlayar dengan bebasnya. Senda gurau ikan-ikan di sekitarku, aku acuhkan begitu saja. Aku terus berlayar, menembus setiap celah, melewati berbagai rintangan dengan lincah. Tak jarang kulihat burung kakak tua yang bertengger di pepohonan menatapku tajam. Ah, aku acuhkan juga dia begitu saja, sama seperti yang lainnya.
Sampai di suatu tempat, kulihat dari kejauhan ada seorang wanita tengah menikmati indahnya malam di ujung geledek sungai. Jarak semakin dekat, ia seperti terkejut dengan kedatanganku. Ia bangkit perlahan, mengambil rerantingan, lalu menggapaiku dengan hati-hati. Ia mengambilku, menatapiku, lalu mengambil sesuatu yang sedari tadi membebaniku; diary dan sebuah kotak hijau itu. Ia lantas membacanya di antara taburan bintang, diterangi bias cahaya rembulan.
Sebulan lalu, di antara cahaya rembulan yang sungguh begitu terang, aku membaca terlebih dahulu diarymu di sini sebelum kubawa pulang. Esoknya, kujemur terlebih dahulu perahu kertasmu itu sebelum membacanya satu persatu. Aku terkesima membaca semua itu, Arul. Seakan tak percaya bahwa akulah tokoh dari semua catatan purnamamu.
Kemarin malam aku melayarkan kembali perahu kertasmu yang kuterima di antara bias punama sebulan lalu. Hanya perahu kertasmu, Arul, tidak dengan diary dan kotak hijau itu. Tak lupa kutulis sebuah surat untukmu, agar kau tahu bahwa aku akan menunggumu mulai malam ini dan entah kapan akan berhenti. Kuyakini saja akan sampai padamu, meski teramat mustahil sebab dirimu yang mungkin telah akrab kembali dengan aroma bukit Lancharan itu. Ya, seperti yang kubaca di catatan purnamamu, kau tengah sakit dan hendak mengakhiri pengembaraanmu mencariku dengan tetap membiarkan perasaan itu mendekam di hatimu entah sampai kapan. Aku benar-benar ragu semua itu sampai padamu, namun aku akan tetap menunggu. inilah imbalku atas sembilan tahun ketulusanmu mempertahankan perasaan itu untukku.
Seharusnya kini kau telah sampai kembali di rumahmu. Sengaja memang kuambil resiko ini. Kuterima suratmu sebulan lalu, namun kulayarkan kembali padamu baru kemarin malam. Namun kulakukan semua ini bukan tanpa alasan. Ya, seperti katamu, purnamalah yang membuatmu tetap mempertahankan rasa itu, dan membuat perahu kertasmu benar-benar sampai di tanganku. Maka dari itu, kutunggu purnama selanjutnya untuk kembali melayarkan surat-suratmu. Barangkali saja ucapanmu benar. Siapa tahu?
Aku mendongak perlahan, menatapi rembulan yang bersinar terang di antara taburan gemintang. Cahayanya berpendar di atas riak air sungai yang mengalir cukup tenang seakan menyiratkan sebuah keindahan. Semoga saja kau datang malam ini sesuai dengan munajatku pada Tuhan, juga pada purnama yang bersinar indah kemarin malam.
Malam ini, seperti biasa aku menghabiskan waktu sendiri di ujung geledek ini. Sambil menatap gemintangku, juga rembulanmu yang membentuk galaksi padu. Aku akan tetap menantimu sejak malam ini, dan malam-malam berikutnya hingga waktu tak mengizinkanku lagi. Bukan karena apa-apa, namun aku merasa perasaanmu itu tulus untukku sehingga kau berani berlama-lama menantikanku. Maka dari itulah aku akan menunggumu, semoga saja kau datang malam ini, jika tidak, semoga secepatnya kau akan datang temani sepiku ini. Aku akan menunggumu, Arul. Meski teramat mustahil kau datang, aku tetap akan menunggumu. Inilah tekadku.
Sejak sembilan tahun lalu aku memang telah bertekad untuk menunggumu. Waktu demi waktu kujalani dengan tetap memendam rasa ini. Rasa aneh yang perlahan menjalar diam-diam dalam hati, menciptakan kerinduan dan kegelisahan menyenangkan selama ini. Berawal dari tatapan tak di sengaja waktu kita sekelas di sekolah dasar dulu, hingga kini, rasa di hatiku ini tak pernah sedikit pun berkurang padamu. Rasa ini masih sama seperti dulu, Cha, waktu senyumanmu masih begitu lekat di mataku.
Setelah dipikir-pikir, untung saja penyakit ini menimpaku sejak sebulan lalu. Jika tidak, aku akan cepat sampai di rumah dan takkan pernah mendapatkan lagi kesempatan se-luar biasa ini. Seperti katamu, mungkin ini hanya kebetulan saja, atau mungkin Tuhan telah menakdirkannya jauh sebelum diciptakannya manusia. Namun satu hal yang tetap kuyakini, Cha, Tuhan juga pasti tahu tentang hati kita dan takkan selamanya membuat kita kecewa.
Telah kubaca dengan sempurna suratmu yang kau kirimkan bersama perahu kertasku. Dan telah dapat kubayangkan, kini kau tengah menatapi rembulan sendiri di ujung geledek itu sembari mendekap erat buku diary dan kotak kecil hijau dengan memendam satu harapan, agar aku datang menemuimu malam ini. Aku akan mewujudkan harapan itu sebentar lagi. Tunggulah aku, tinggal beberapa desa saja yang belum kulewati. Terus berjalan ke hulu, bergegas menemuimu yang tengah menantikanku, sebagai akhir menyenangkan dari penantian dan pengembaraanku yang tak lagi mengenal waktu. Bersabarlah, Cha. Aku akan segera datang menemuimu.
Aku akan tetap bersabar menantimu. Meski kau takkan datang malam ini, mungkin di malam-malam berikutnya Tuhan kembali memberi keajaiban seperti halnya perahu kertasmu yang benar-benar sampai ke tanganku.
Ternyata seperti ini, ya, rasanya memikul harapan yang agaknya mustahil terjadi. Menggantungkan asa pada keajaiban yang entah dikabulkan Tuhan atau tidak. Mungkin ini yang kau rasakan selama menantikanku sembilan tahun lamanya. Sungguh tak mengenakkan. Tapi kau sanggup bertahan, Arul. Semoga saja aku bisa bertahan sepertimu, demi tekadku, demi hatiku yang agaknya telah mantap menantikanmu untuk jadi imamku atas dasar ketulusan itu.
Di antara deru nafasku yang mulai memburu, ada satu kata yang entah mengapa terbersit begitu saja dalam otakku. Ketulusan. Mungkin di sana kau tengah bergumam tentang ketulusanku mempertahkan rasa ini untukmu.
Aku pernah membuat kesimpulan, bahwa ketulusan itu melakukan suatu hal tanpa alasan. Dan begitulah aku mempertahankan rasa ini untukmu. Hingga saat ini, aku tak punya alasan mengapa rasa ini terlanjur ada untukmu. Berawal dari tatapan tak disengaja pada rinai pagi yang indah dulu, hingga kini rasa di hatiku tak pernah berubah dan tetap saja aku tak punya alasan tentang semua itu. Ah, aku jadi teringat masa-masa kecil kita dulu. Entah di sana kau masih mengingatnya atau tidak, aku tak tahu.
Aku masih mengingatmu dengan sempurna. Begini-begini, aku juga tipe orang yang tak mudah melupakan kenangan. Banyak sekali kenangan yang masih membekas di otakku, terutama saat kau membelaku dulu. Aku lantas tersenyum padamu yang membuatmu kemudian menyimpulkan senyum kecil untukku. Bahkan, dulu aku sudah tahu bahwa sebenarnya kau menyukaiku, Arul. Kutahu hal itu kala kuperhatikan wajahmu yang selalu saja murung sejak aku menjalin hubungan dengan sahabatmu yang tak tahu diri itu. Aku tahu semua itu, Arul, hanya saja dulu, aku tak yakin pada perasaanku. Aku hanya bisa menerima apa adanya dan menjalani hidup sebagaimana biasa.
Ah, tampaknya kau takkan datang malam ini, atau mungkin bahkan kau juga takkan datang di malam-malam berikutnya. Tapi aku akan tetap menunggumu sesuai tekadku, sampai waktu tak memberikan kesempatan lagi untukku.
Angin mulai menebarkan nuansa gigil, rembulan mulai meninggi di kejauhan, sementara sepi mulai menguasai segalanya. Mungkin aku akan mengakhiri penantianku untuk malam ini. Aku akan pulang, lantas membaca diarymu lagi. Entah mengapa aku tak pernah merasa bosan membaca oretan penamu, seperti air yang mengalir membuatku terbuai dan terkadang membuatku terlelap begitu saja. Aku akan menantikanmu sepeuluh menit lagi. Setelah itu, aku akan pulang, mengakhiri penantianku untuk malam ini.
Aku harap, kau masih menantikanku di geledek sungai yang memanjang itu. Malam segigil ini, aku khawatir kau akan pulang lebih awal. Namun aku tetap pertahankan keyakinanku, bahwa kau akan tetap menungguku untuk melewati malam bersama, menyaksikan rembulanku, juga gemintangmu yang membentuk galaksi padu.
Aku sudah dekat. Mungkin beberapa menit lagi aku akan sampai. Kubuka ranselku, mengeluarkan beberapa kertas yang memang sengaja akan kupersembahkan padamu. Bukan catatan purnamaku. Sudahlah nanti kau akan tahu. Aku hanya ingin tahu saja bagaimana reaksimu membaca semua ini. Ah, aku jadi tak sabar ingin menemuimu. Aku pun meneruskan langkah dengan cepat seiring dengan tarikan nafas yang tak lagi beraturan.
Sepuluh menit telah berlalu, kau tak mungkin datang malam ini. Aku akan pulang dan meluapkan sedikit kecewaku ini dengan membaca diarymu lagi hingga aku terlelap, sampai aku menutup mata dengan sejuta harapan agar kau datang dalam mimpi indahku.
Aku melangkah perlahan, menundukkan kepala sebab harapan yang belum tertunaikan. Semoga saja kau di sana dapat mendengar keluh kesahku ini, Arul. Aku ingin kau berada di sini, temani sepiku ini. Aku mencoba menengadah, kulihat rembulan masih bersinar terang, gemintang perlahan berbinar-binar di atas sana, seakan menyiratkan tentang sebuah keindahan yang amat menyenangkan. Ah, lupakan saja, kau takkan datang malam ini.
Aku terus menjauh, meninggalkan tempat di mana aku terbiasa menghabiskan malam-malamku di sana. Kurapatkan jaketku, malam kian gigil terasa.Terus melangkah, menutup penantian malam ini dengan sedikit kekecewaan.
Aku tidak akan membuatmu kecewa. Tunggulah aku sebentar lagi, aku hampir sampai. Kita akan melewati malam ini bersama di antara cahaya-cahaya yang berpendar pada air sungai yang mengalir begitu tenang.
Sebentar lagi aku sampai, Cha. Ada yang berdetak tak semestinya. Lebih cepat, lebih mengisyaratkan sebuah ketaksiapan atas kenyataan bahwa aku benar-benar akan datang menemuimu. Kupercepat langkah, sudah dapat kulihat geledek sungai itu di kejauhan.
Jarak semakin dekat, namun tak kulihat apa-apa di ujung gledek itu. Mungkin kau telah pulang, atau mungkin kau memang tak pernah mengharapkan kedatanganku, yang itu artinya aku saja yang berlebihan mengartikan maksud dari suratmu seperti apa. Ah, sampai kapan semua ini akan berujung kekecewaan?
Aku tertunduk lemas di ujung geledek ini. Semuanya seakan musnah perlahan; harapan-harapan itu, bayangan-bayangan yang sedari tadi berkelebat di hadapanku, serta bisikan-bisikan aneh seperti suaramu, semuanya perlahan runtuh satu per satu. Mungkin inilah takdirku, seseorang yang terus menunggu di antara kekecewaan yang hadir silih berganti, datang dan pergi.
“Aku tak menyangka kau benar-benar datang malam ini, Arul”
Aku menoleh ke asal suara. Ada yang damai di jiwaku seketika…
KCN, 14 Maret 2013
Cerpen Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad


my opinions about this short story is sincerity and patience that will bring love's coming. Because love will not go into the wrong heart. Love is a feeling that can not be expressed in words. Love will come to the human heart. There is a different feel, need each other, waiting for each other. Expression in wait of someone we love is a very special thing. Love is a story, love is a feeling and love is ours.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar