Telah
banyak yang tertulis di atasku. Kata orang aku surat cinta, aku sulaman
kata-kata yang bila di baca membuat banyak pipi merona. Tapi sudahlah, biarkan
mereka menyebutku apa, bukankah sebutan tidak begitu penting? Meski begitu,
andai saja mereka tahu, aku lebih suka di sebut catatan sederhana saja, bukan
surat cinta, bukan pula kata-kata gombal yang telah meluber di mana-mana.
Tak
banyak makhluk sejenisku yang bernasib seberuntung diriku. Nyaris semua
kata-kata yang tertulis di atasku menceritakan tentang perasaan yang terpendam,
perihal kerinduan yang tak pernah selesai. Aku juga pernah berlayar, melewati
aliran sungai yang begitu tenang di antara gemerlap berbagai cahaya; rembulan,
pun juga taburan bintang.
Biar kuceritakan semuanya dari awal, tentang keberuntunganku, tentang mengapa aku lebih suka di sebut catatan sederhana saja dan bukan surat cinta:
Biar kuceritakan semuanya dari awal, tentang keberuntunganku, tentang mengapa aku lebih suka di sebut catatan sederhana saja dan bukan surat cinta:
Di
antara rembulan yang tengah bersinar sempurna, bagian-bagianku senantiasa
tercipta. Kata demi kata tersusun menjadi ungkapan rasa yang terpendam sekian
tahun lamanya. Tiap kali purnama, satu bagianku sempurna tercipta. Satu, dua,
begitu seterusnya hingga hitunganku berhenti di angka lima puluh lima.
Aku tak
pernah tahu mengapa bagianku berhenti begitu saja di angka itu. Mungkin angka spesial,
atau mungkin ada hal yang menimpa penyusunku selama ini. Sebab, di akhir
bagianku, tak kudapati lagi bara semangat dari penantian dan pengembaraan yang
melelahkan. Yang kutemui hanya kata-kata pasrah yang menyedihkan tentang akhir
sebuah kerinduan yang tak tertunaikan.
Namun
dari hal itulah kisahku bermula. Bagian-bagianku dikumpulkannya menjadi satu,
di lipat, kemudian aku dibuatnya menjadi sebuah perahu kertas. Ya, sebuah
perahu kertas yang kemudian ia layarkan di antara aliran air sungai yang begitu
tenang. Aku berlayar bebas, meski sedikit oleng sebab beban yang ku pikul; buku
diary, dan sebuah kotak hijau yang entah berisi apa.
Aku
terus berlayar dengan bebasnya. Senda gurau ikan-ikan di sekitarku, aku acuhkan
begitu saja. Aku terus berlayar, menembus setiap celah, melewati berbagai
rintangan dengan lincah. Tak jarang kulihat burung kakak tua yang bertengger di
pepohonan menatapku tajam. Ah, aku acuhkan juga dia begitu saja, sama seperti
yang lainnya.
Sampai
di suatu tempat, kulihat dari kejauhan ada seorang wanita tengah menikmati
indahnya malam di ujung geledek sungai. Jarak semakin dekat, ia seperti
terkejut dengan kedatanganku. Ia bangkit perlahan, mengambil rerantingan, lalu
menggapaiku dengan hati-hati. Ia mengambilku, menatapiku, lalu mengambil
sesuatu yang sedari tadi membebaniku; diary dan sebuah kotak hijau itu. Ia
lantas membacanya di antara taburan bintang, diterangi bias cahaya rembulan.
—
Sebulan
lalu, di antara cahaya rembulan yang sungguh begitu terang, aku membaca
terlebih dahulu diarymu di sini sebelum kubawa pulang. Esoknya, kujemur
terlebih dahulu perahu kertasmu itu sebelum membacanya satu persatu. Aku
terkesima membaca semua itu, Arul. Seakan tak percaya bahwa akulah tokoh dari
semua catatan purnamamu.
Kemarin
malam aku melayarkan kembali perahu kertasmu yang kuterima di antara bias
punama sebulan lalu. Hanya perahu kertasmu, Arul, tidak dengan diary dan kotak
hijau itu. Tak lupa kutulis sebuah surat untukmu, agar kau tahu bahwa aku akan
menunggumu mulai malam ini dan entah kapan akan berhenti. Kuyakini saja akan
sampai padamu, meski teramat mustahil sebab dirimu yang mungkin telah akrab
kembali dengan aroma bukit Lancharan itu. Ya, seperti yang kubaca di catatan
purnamamu, kau tengah sakit dan hendak mengakhiri pengembaraanmu mencariku
dengan tetap membiarkan perasaan itu mendekam di hatimu entah sampai kapan. Aku
benar-benar ragu semua itu sampai padamu, namun aku akan tetap menunggu. inilah
imbalku atas sembilan tahun ketulusanmu mempertahankan perasaan itu untukku.
Seharusnya
kini kau telah sampai kembali di rumahmu. Sengaja memang kuambil resiko ini.
Kuterima suratmu sebulan lalu, namun kulayarkan kembali padamu baru kemarin
malam. Namun kulakukan semua ini bukan tanpa alasan. Ya, seperti katamu,
purnamalah yang membuatmu tetap mempertahankan rasa itu, dan membuat perahu
kertasmu benar-benar sampai di tanganku. Maka dari itu, kutunggu purnama
selanjutnya untuk kembali melayarkan surat-suratmu. Barangkali saja ucapanmu
benar. Siapa tahu?
Aku
mendongak perlahan, menatapi rembulan yang bersinar terang di antara taburan
gemintang. Cahayanya berpendar di atas riak air sungai yang mengalir cukup
tenang seakan menyiratkan sebuah keindahan. Semoga saja kau datang malam ini
sesuai dengan munajatku pada Tuhan, juga pada purnama yang bersinar indah
kemarin malam.
Malam
ini, seperti biasa aku menghabiskan waktu sendiri di ujung geledek ini. Sambil
menatap gemintangku, juga rembulanmu yang membentuk galaksi padu. Aku akan
tetap menantimu sejak malam ini, dan malam-malam berikutnya hingga waktu tak
mengizinkanku lagi. Bukan karena apa-apa, namun aku merasa perasaanmu itu tulus
untukku sehingga kau berani berlama-lama menantikanku. Maka dari itulah aku
akan menunggumu, semoga saja kau datang malam ini, jika tidak, semoga
secepatnya kau akan datang temani sepiku ini. Aku akan menunggumu, Arul. Meski
teramat mustahil kau datang, aku tetap akan menunggumu. Inilah tekadku.
—
Sejak
sembilan tahun lalu aku memang telah bertekad untuk menunggumu. Waktu demi
waktu kujalani dengan tetap memendam rasa ini. Rasa aneh yang perlahan menjalar
diam-diam dalam hati, menciptakan kerinduan dan kegelisahan menyenangkan selama
ini. Berawal dari tatapan tak di sengaja waktu kita sekelas di sekolah dasar
dulu, hingga kini, rasa di hatiku ini tak pernah sedikit pun berkurang padamu.
Rasa ini masih sama seperti dulu, Cha, waktu senyumanmu masih begitu lekat di
mataku.
Setelah
dipikir-pikir, untung saja penyakit ini menimpaku sejak sebulan lalu. Jika
tidak, aku akan cepat sampai di rumah dan takkan pernah mendapatkan lagi kesempatan
se-luar biasa ini. Seperti katamu, mungkin ini hanya kebetulan saja, atau
mungkin Tuhan telah menakdirkannya jauh sebelum diciptakannya manusia. Namun
satu hal yang tetap kuyakini, Cha, Tuhan juga pasti tahu tentang hati kita dan
takkan selamanya membuat kita kecewa.
Telah
kubaca dengan sempurna suratmu yang kau kirimkan bersama perahu kertasku. Dan
telah dapat kubayangkan, kini kau tengah menatapi rembulan sendiri di ujung
geledek itu sembari mendekap erat buku diary dan kotak kecil hijau dengan
memendam satu harapan, agar aku datang menemuimu malam ini. Aku akan mewujudkan
harapan itu sebentar lagi. Tunggulah aku, tinggal beberapa desa saja yang belum
kulewati. Terus berjalan ke hulu, bergegas menemuimu yang tengah menantikanku,
sebagai akhir menyenangkan dari penantian dan pengembaraanku yang tak lagi
mengenal waktu. Bersabarlah, Cha. Aku akan segera datang menemuimu.
—
Aku
akan tetap bersabar menantimu. Meski kau takkan datang malam ini, mungkin di
malam-malam berikutnya Tuhan kembali memberi keajaiban seperti halnya perahu
kertasmu yang benar-benar sampai ke tanganku.
Ternyata seperti ini, ya, rasanya memikul harapan yang agaknya mustahil terjadi. Menggantungkan asa pada keajaiban yang entah dikabulkan Tuhan atau tidak. Mungkin ini yang kau rasakan selama menantikanku sembilan tahun lamanya. Sungguh tak mengenakkan. Tapi kau sanggup bertahan, Arul. Semoga saja aku bisa bertahan sepertimu, demi tekadku, demi hatiku yang agaknya telah mantap menantikanmu untuk jadi imamku atas dasar ketulusan itu.
Ternyata seperti ini, ya, rasanya memikul harapan yang agaknya mustahil terjadi. Menggantungkan asa pada keajaiban yang entah dikabulkan Tuhan atau tidak. Mungkin ini yang kau rasakan selama menantikanku sembilan tahun lamanya. Sungguh tak mengenakkan. Tapi kau sanggup bertahan, Arul. Semoga saja aku bisa bertahan sepertimu, demi tekadku, demi hatiku yang agaknya telah mantap menantikanmu untuk jadi imamku atas dasar ketulusan itu.
—
Di
antara deru nafasku yang mulai memburu, ada satu kata yang entah mengapa
terbersit begitu saja dalam otakku. Ketulusan. Mungkin di sana kau tengah
bergumam tentang ketulusanku mempertahkan rasa ini untukmu.
Aku pernah membuat kesimpulan, bahwa ketulusan itu melakukan suatu hal tanpa alasan. Dan begitulah aku mempertahankan rasa ini untukmu. Hingga saat ini, aku tak punya alasan mengapa rasa ini terlanjur ada untukmu. Berawal dari tatapan tak disengaja pada rinai pagi yang indah dulu, hingga kini rasa di hatiku tak pernah berubah dan tetap saja aku tak punya alasan tentang semua itu. Ah, aku jadi teringat masa-masa kecil kita dulu. Entah di sana kau masih mengingatnya atau tidak, aku tak tahu.
Aku pernah membuat kesimpulan, bahwa ketulusan itu melakukan suatu hal tanpa alasan. Dan begitulah aku mempertahankan rasa ini untukmu. Hingga saat ini, aku tak punya alasan mengapa rasa ini terlanjur ada untukmu. Berawal dari tatapan tak disengaja pada rinai pagi yang indah dulu, hingga kini rasa di hatiku tak pernah berubah dan tetap saja aku tak punya alasan tentang semua itu. Ah, aku jadi teringat masa-masa kecil kita dulu. Entah di sana kau masih mengingatnya atau tidak, aku tak tahu.
—
Aku
masih mengingatmu dengan sempurna. Begini-begini, aku juga tipe orang yang tak
mudah melupakan kenangan. Banyak sekali kenangan yang masih membekas di otakku,
terutama saat kau membelaku dulu. Aku lantas tersenyum padamu yang membuatmu
kemudian menyimpulkan senyum kecil untukku. Bahkan, dulu aku sudah tahu bahwa
sebenarnya kau menyukaiku, Arul. Kutahu hal itu kala kuperhatikan wajahmu yang
selalu saja murung sejak aku menjalin hubungan dengan sahabatmu yang tak tahu
diri itu. Aku tahu semua itu, Arul, hanya saja dulu, aku tak yakin pada
perasaanku. Aku hanya bisa menerima apa adanya dan menjalani hidup sebagaimana
biasa.
Ah,
tampaknya kau takkan datang malam ini, atau mungkin bahkan kau juga takkan
datang di malam-malam berikutnya. Tapi aku akan tetap menunggumu sesuai
tekadku, sampai waktu tak memberikan kesempatan lagi untukku.
Angin mulai menebarkan nuansa gigil, rembulan mulai meninggi di kejauhan, sementara sepi mulai menguasai segalanya. Mungkin aku akan mengakhiri penantianku untuk malam ini. Aku akan pulang, lantas membaca diarymu lagi. Entah mengapa aku tak pernah merasa bosan membaca oretan penamu, seperti air yang mengalir membuatku terbuai dan terkadang membuatku terlelap begitu saja. Aku akan menantikanmu sepeuluh menit lagi. Setelah itu, aku akan pulang, mengakhiri penantianku untuk malam ini.
Angin mulai menebarkan nuansa gigil, rembulan mulai meninggi di kejauhan, sementara sepi mulai menguasai segalanya. Mungkin aku akan mengakhiri penantianku untuk malam ini. Aku akan pulang, lantas membaca diarymu lagi. Entah mengapa aku tak pernah merasa bosan membaca oretan penamu, seperti air yang mengalir membuatku terbuai dan terkadang membuatku terlelap begitu saja. Aku akan menantikanmu sepeuluh menit lagi. Setelah itu, aku akan pulang, mengakhiri penantianku untuk malam ini.
—
Aku
harap, kau masih menantikanku di geledek sungai yang memanjang itu. Malam
segigil ini, aku khawatir kau akan pulang lebih awal. Namun aku tetap
pertahankan keyakinanku, bahwa kau akan tetap menungguku untuk melewati malam
bersama, menyaksikan rembulanku, juga gemintangmu yang membentuk galaksi padu.
Aku
sudah dekat. Mungkin beberapa menit lagi aku akan sampai. Kubuka ranselku,
mengeluarkan beberapa kertas yang memang sengaja akan kupersembahkan padamu.
Bukan catatan purnamaku. Sudahlah nanti kau akan tahu. Aku hanya ingin tahu
saja bagaimana reaksimu membaca semua ini. Ah, aku jadi tak sabar ingin
menemuimu. Aku pun meneruskan langkah dengan cepat seiring dengan tarikan nafas
yang tak lagi beraturan.
—
Sepuluh
menit telah berlalu, kau tak mungkin datang malam ini. Aku akan pulang dan
meluapkan sedikit kecewaku ini dengan membaca diarymu lagi hingga aku terlelap,
sampai aku menutup mata dengan sejuta harapan agar kau datang dalam mimpi
indahku.
Aku melangkah perlahan, menundukkan kepala sebab harapan yang belum tertunaikan. Semoga saja kau di sana dapat mendengar keluh kesahku ini, Arul. Aku ingin kau berada di sini, temani sepiku ini. Aku mencoba menengadah, kulihat rembulan masih bersinar terang, gemintang perlahan berbinar-binar di atas sana, seakan menyiratkan tentang sebuah keindahan yang amat menyenangkan. Ah, lupakan saja, kau takkan datang malam ini.
Aku terus menjauh, meninggalkan tempat di mana aku terbiasa menghabiskan malam-malamku di sana. Kurapatkan jaketku, malam kian gigil terasa.Terus melangkah, menutup penantian malam ini dengan sedikit kekecewaan.
Aku melangkah perlahan, menundukkan kepala sebab harapan yang belum tertunaikan. Semoga saja kau di sana dapat mendengar keluh kesahku ini, Arul. Aku ingin kau berada di sini, temani sepiku ini. Aku mencoba menengadah, kulihat rembulan masih bersinar terang, gemintang perlahan berbinar-binar di atas sana, seakan menyiratkan tentang sebuah keindahan yang amat menyenangkan. Ah, lupakan saja, kau takkan datang malam ini.
Aku terus menjauh, meninggalkan tempat di mana aku terbiasa menghabiskan malam-malamku di sana. Kurapatkan jaketku, malam kian gigil terasa.Terus melangkah, menutup penantian malam ini dengan sedikit kekecewaan.
—
Aku
tidak akan membuatmu kecewa. Tunggulah aku sebentar lagi, aku hampir sampai.
Kita akan melewati malam ini bersama di antara cahaya-cahaya yang berpendar
pada air sungai yang mengalir begitu tenang.
Sebentar lagi aku sampai, Cha. Ada yang berdetak tak semestinya. Lebih cepat, lebih mengisyaratkan sebuah ketaksiapan atas kenyataan bahwa aku benar-benar akan datang menemuimu. Kupercepat langkah, sudah dapat kulihat geledek sungai itu di kejauhan.
Sebentar lagi aku sampai, Cha. Ada yang berdetak tak semestinya. Lebih cepat, lebih mengisyaratkan sebuah ketaksiapan atas kenyataan bahwa aku benar-benar akan datang menemuimu. Kupercepat langkah, sudah dapat kulihat geledek sungai itu di kejauhan.
Jarak
semakin dekat, namun tak kulihat apa-apa di ujung gledek itu. Mungkin kau telah
pulang, atau mungkin kau memang tak pernah mengharapkan kedatanganku, yang itu
artinya aku saja yang berlebihan mengartikan maksud dari suratmu seperti apa.
Ah, sampai kapan semua ini akan berujung kekecewaan?
Aku
tertunduk lemas di ujung geledek ini. Semuanya seakan musnah perlahan;
harapan-harapan itu, bayangan-bayangan yang sedari tadi berkelebat di
hadapanku, serta bisikan-bisikan aneh seperti suaramu, semuanya perlahan runtuh
satu per satu. Mungkin inilah takdirku, seseorang yang terus menunggu di antara
kekecewaan yang hadir silih berganti, datang dan pergi.
“Aku tak menyangka kau benar-benar datang malam ini, Arul”
Aku menoleh ke asal suara. Ada yang damai di jiwaku seketika…
“Aku tak menyangka kau benar-benar datang malam ini, Arul”
Aku menoleh ke asal suara. Ada yang damai di jiwaku seketika…
KCN, 14
Maret 2013
Cerpen
Karangan: Fairuz Zakyal ‘Ibad
my opinions about
this short story is
sincerity and patience
that will bring
love's coming. Because
love will not go into the wrong
heart. Love is
a feeling that
can not be expressed in words.
Love will come to
the human heart. There
is a different feel, need each other, waiting for each other.
Expression in wait of someone we love
is a very special thing. Love is a story,
love is a feeling and love is ours.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar