Jumat, 14 Juni 2013

cerpen_potongan yang hilang

Potongan yang Hilang
Dua tahun. Berlalu dengan cepat, layaknya laju kereta yang terisi penuh oleh bahan bakar. Sekarang boleh ku ingat apa saja yang sudah terukirkan di tembok masa yang berada di belakangku. Cat-cat itu telah mengelupas sedikit demi sedikit seiring dengan bergulirnya detik di genggaman tangan mungilku. Pernah kubayangkan, apabila tembok masa itu telah rapuh semua partikel catnya, apa itu akan membuatku mati? Ah, entahlah. Aku pusing.
Ilalang-ilalang yang melambai menghembuskan bunga lembutnya, seakan mengajakku untuk mengingat kembali masa laluku. Memaksaku untuk menyemburkan memori-memori yang bahkan sudah terjejal-jejal karena kehabisan tempat di otakku. Perlahan, jemari kedua kakiku menyeret paksa tubuh ini untuk duduk melamun di saung sederhana yang berdiri anggun di tengah ribuan ilalang yang bergelayut manja. Aku tak mengerti sekarang. Ada sesuatu yang begitu kilat berkelebat di sela pikiranku. Aneh. Apa itu? Sungguh.. batinku merancau. Aku menggeleng lemah kemudian, meyakinkan diriku sendiri bahwa sesuatu yang menyelinap itu bukanlah hal penting.
Kini, ku raba pelan dengan telapak tangan kiriku bambu-bambu yang terangkai pada saung ini. Yang membuatnya mampu bertahan sampai sekarang meski telah rapuh sebagian kayu yang dulunya kokoh. Aku tak ingat, berapa usia saung cilik ini. Mungkin sama atau lebih dari usiaku kini. Entahlah. Yang pasti, saung inilah satu-satunya tempat paling sering kusinggahi kala aku masih kecil dulu. Dan sedikit banyaknya telah menjadi bagian yang sulit di hapus dari kembang kenangan masa laluku.
Aku mendongak ke atas, menatap langit yang terselingi awan-awan berbentuk bunga kol yang terlihat begitu ceria. Aku tak sanggup menyembunyikan senyum yang menggetarkan bibir manisku. Begitu saja, aku terhanyut dalam gumpalan putih itu yang seolah menenatku dan menelanku. Semua berjalan sangat lamban, lamban dan lamban. Dan kembali ada sesuatu yang entah mengapa serasa tengah berusaha keras menyelip ke otakku. Aku memejamkan mataku penat. Gelap.
Tapi…
itu… Apa itu?
Yaak, tidak mungkin…
Kenapa dalam gulitanya pejaman biji penglihatanku, semua tampak begitu jelas? Ya, aku berhasil menangkap sesuatu itu. Entahlah. Ahh, kenapa selalu kata entahlah? Tapi, layaknya orang yang sedang menonton sebuah film di bioskop, aku melihat rekaman buram itu. Rekaman memorial di pejamnya salah satu indra yang kumiliki.
Angin sepoi yang berasal dari ayunan ilalang di sekelilingku, serasa menambah kesejukan jiwaku yang tengah bergemuruh. Aku sendiri semakin menikmati rekaman itu sambil terus menutup sepasang mata ini. Meski sejujurnya, aku sendiri masih bingung dengan apa yang ku tonton. Benar-benar tak dapat ku mengerti.
Teriakan-teriakan renyah dari seorang bocah yang berlari riang dalam rekaman mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku tertegun. Diriku sendiri? tanyaku gelisah. Jadi… apa mungkin ini ingatan masa kecilku? Bocah itu, apa benar-benar itu adalah diriku?
Ya ampun, kenapa 2 tahun tinggal di kota membuatku hampir melupakan kenangan-kenangan masa lalu?, sadarku seketika.
Kepalaku terasa berat sekarang, aku tak sanggup menahannya lagi. Rekaman itu, potret itu, benar adanya aku di 10 tahun silam. Ya. Ketika aku di selimuti kesunyian. Ketika aku masih bergelut dengan kesepian. Ketika aku, menangis hampir di tiap hari karena merasakan sesak luar biasa. Lalu, siapa yang ada di sisiku saat itu? Siapa yang menemaniku kala itu?
Aku menggeleng. Tanpa sadar air mataku menetes, seperti masa silam. Aku, ada apa denganku? Kenapa butir bening ini memaksa untuk terus mengalir?
Aku… merindukan sesuatu. Sepotong rasaku yang hilang. Entah kemana.
Tak mau terus tenggelam pada perasaanku saat ini, aku membuka mataku. Jingga memenuhi hampir separuh atap yang melayang abadi ini, taburan emas di kelopak awan membius sebagian kesadaranku. Helaan nafas berat, sesaat terdengar dari rongga paru-paruku. Aku mengerjap, meredakan perih di mataku yang tertusuk jarum-jarum halus dari udara yang bergerak. Menyisakan sembab di pelupuk.
Aku bernostalgia, mengenang indahnya keheningan hidupku dulu. Memandang lembut, siluet ranting pohon jati yang tengah meranggas rupanya. Juga ilalang yang bergoyang kesana kemari mengikuti irama sepoi yang mendesah. Sungguh menikmati senja yang kurindukan.
‘manusia, memang tak akan pernah menang dari rasa kesepiannya. Bahkan ada kalanya kita rindu dengan kesepian itu. Karena tanpa sadar, ia telah merasuk ke sela-sela alur hidup kita kapanpun ia mau. Dan jadilah ia potongan yang hilang, yang kan kau rindukan di masa mendatang.’
Cerpen Karangan: Nika Lusiyana


my opinions about this short story is a memory can not disappear just like that, there must be a time where we pobud recall those memories. A memory can make us aware of who formerly pobud accompany our days and those that exist in our ekat that time. Memories can be a great lesson for ourselves because we can learn from the experiences we've been through, to make themselves better.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar