Potongan
yang Hilang
Dua
tahun. Berlalu dengan cepat, layaknya laju kereta yang terisi penuh oleh bahan
bakar. Sekarang boleh ku ingat apa saja yang sudah terukirkan di tembok masa
yang berada di belakangku. Cat-cat itu telah mengelupas sedikit demi sedikit
seiring dengan bergulirnya detik di genggaman tangan mungilku. Pernah
kubayangkan, apabila tembok masa itu telah rapuh semua partikel catnya, apa itu
akan membuatku mati? Ah, entahlah. Aku pusing.
Ilalang-ilalang
yang melambai menghembuskan bunga lembutnya, seakan mengajakku untuk mengingat
kembali masa laluku. Memaksaku untuk menyemburkan memori-memori yang bahkan
sudah terjejal-jejal karena kehabisan tempat di otakku. Perlahan, jemari kedua
kakiku menyeret paksa tubuh ini untuk duduk melamun di saung sederhana yang
berdiri anggun di tengah ribuan ilalang yang bergelayut manja. Aku tak mengerti
sekarang. Ada sesuatu yang begitu kilat berkelebat di sela pikiranku. Aneh. Apa
itu? Sungguh.. batinku merancau. Aku menggeleng lemah kemudian, meyakinkan diriku
sendiri bahwa sesuatu yang menyelinap itu bukanlah hal penting.
Kini,
ku raba pelan dengan telapak tangan kiriku bambu-bambu yang terangkai pada
saung ini. Yang membuatnya mampu bertahan sampai sekarang meski telah rapuh
sebagian kayu yang dulunya kokoh. Aku tak ingat, berapa usia saung cilik ini.
Mungkin sama atau lebih dari usiaku kini. Entahlah. Yang pasti, saung inilah
satu-satunya tempat paling sering kusinggahi kala aku masih kecil dulu. Dan
sedikit banyaknya telah menjadi bagian yang sulit di hapus dari kembang
kenangan masa laluku.
Aku
mendongak ke atas, menatap langit yang terselingi awan-awan berbentuk bunga kol
yang terlihat begitu ceria. Aku tak sanggup menyembunyikan senyum yang
menggetarkan bibir manisku. Begitu saja, aku terhanyut dalam gumpalan putih itu
yang seolah menenatku dan menelanku. Semua berjalan sangat lamban, lamban dan
lamban. Dan kembali ada sesuatu yang entah mengapa serasa tengah berusaha keras
menyelip ke otakku. Aku memejamkan mataku penat. Gelap.
Tapi…
itu… Apa itu?
Yaak, tidak mungkin…
Kenapa dalam gulitanya pejaman biji penglihatanku, semua tampak begitu jelas? Ya, aku berhasil menangkap sesuatu itu. Entahlah. Ahh, kenapa selalu kata entahlah? Tapi, layaknya orang yang sedang menonton sebuah film di bioskop, aku melihat rekaman buram itu. Rekaman memorial di pejamnya salah satu indra yang kumiliki.
Tapi…
itu… Apa itu?
Yaak, tidak mungkin…
Kenapa dalam gulitanya pejaman biji penglihatanku, semua tampak begitu jelas? Ya, aku berhasil menangkap sesuatu itu. Entahlah. Ahh, kenapa selalu kata entahlah? Tapi, layaknya orang yang sedang menonton sebuah film di bioskop, aku melihat rekaman buram itu. Rekaman memorial di pejamnya salah satu indra yang kumiliki.
Angin
sepoi yang berasal dari ayunan ilalang di sekelilingku, serasa menambah
kesejukan jiwaku yang tengah bergemuruh. Aku sendiri semakin menikmati rekaman
itu sambil terus menutup sepasang mata ini. Meski sejujurnya, aku sendiri masih
bingung dengan apa yang ku tonton. Benar-benar tak dapat ku mengerti.
Teriakan-teriakan
renyah dari seorang bocah yang berlari riang dalam rekaman mengingatkanku pada
diriku sendiri. Aku tertegun. Diriku sendiri? tanyaku gelisah. Jadi… apa
mungkin ini ingatan masa kecilku? Bocah itu, apa benar-benar itu adalah diriku?
Ya
ampun, kenapa 2 tahun tinggal di kota membuatku hampir melupakan
kenangan-kenangan masa lalu?, sadarku seketika.
Kepalaku
terasa berat sekarang, aku tak sanggup menahannya lagi. Rekaman itu, potret
itu, benar adanya aku di 10 tahun silam. Ya. Ketika aku di selimuti kesunyian.
Ketika aku masih bergelut dengan kesepian. Ketika aku, menangis hampir di tiap
hari karena merasakan sesak luar biasa. Lalu, siapa yang ada di sisiku saat
itu? Siapa yang menemaniku kala itu?
Aku
menggeleng. Tanpa sadar air mataku menetes, seperti masa silam. Aku, ada apa
denganku? Kenapa butir bening ini memaksa untuk terus mengalir?
Aku… merindukan sesuatu. Sepotong rasaku yang hilang. Entah kemana.
Aku… merindukan sesuatu. Sepotong rasaku yang hilang. Entah kemana.
Tak
mau terus tenggelam pada perasaanku saat ini, aku membuka mataku. Jingga
memenuhi hampir separuh atap yang melayang abadi ini, taburan emas di kelopak
awan membius sebagian kesadaranku. Helaan nafas berat, sesaat terdengar dari
rongga paru-paruku. Aku mengerjap, meredakan perih di mataku yang tertusuk
jarum-jarum halus dari udara yang bergerak. Menyisakan sembab di pelupuk.
Aku
bernostalgia, mengenang indahnya keheningan hidupku dulu. Memandang lembut,
siluet ranting pohon jati yang tengah meranggas rupanya. Juga ilalang yang
bergoyang kesana kemari mengikuti irama sepoi yang mendesah. Sungguh menikmati
senja yang kurindukan.
‘manusia,
memang tak akan pernah menang dari rasa kesepiannya. Bahkan ada kalanya kita rindu
dengan kesepian itu. Karena tanpa sadar, ia telah merasuk ke sela-sela alur
hidup kita kapanpun ia mau. Dan jadilah ia potongan yang hilang, yang kan kau
rindukan di masa mendatang.’
Cerpen
Karangan: Nika Lusiyana
my opinions about this short story is a memory
can not disappear just like that, there must be a time where we pobud recall
those memories. A memory can make us aware of who formerly pobud accompany our
days and those that exist in our ekat that time. Memories can be a great lesson
for ourselves because we can learn from the experiences we've been through, to
make themselves better.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar