Jumat, 14 Juni 2013

cerpen_malaikat jalanan

Malaikat Jalanan
Kebaya lusuh menghias di tubuhnya, usianya mungkin tak muda lagi, keriput di wajah dan tubuhnya menapakan jejak-jejak yang telah hilang karena waktu. mangkok beling di tangannya, menyisir setiap rumah untuk mengais sedekah, beberapa orang tak mengusik kehadirannya, mengangapnya tak ada kala ia meminta. “Tuan, minta sedekahnya? Katanya penuh iba, meski orang yang di maksud tetap melanjutkan aktivitasnya, sibuk dengan pelanggan yang hilir mudik di tokonya, lama menanti dan menunggu tak ada respon, sekedar basa basi pun tidak”
Hidup memang tak adil bagaimana di usianya yang renta oleh waktu dirinya tak di perhatikan, setiap hari ia termenung dalam lamunan, menyalahkan waktu yang tak berpihak, semua sudah terjadi dan terlambat baginya untuk menyesali kehidupan dulu.
Nama mpo Kirun, usianya mungkin sekitar 85 tahun. Tak habis pikir di benaknya saat masa terhebat dalam hidupnya kini tinggal kenangan, seperti pagi menunggu malam dan malam menunggu pagi. mpo Kirun tetap beraktivitas dengan pekerjaannya, yang kadang sebagian orang di anggap hina, menengadahkan tangan kosong pada setiap ruko, toko atau warung kecil yang di temuinya, hasilnya untuk ia makan dan sebagian besarnya untuk ia sumbangkan pada sahabat-sahabatnya di “PANTI JOMPO WELAS ASIH”. Dulu Mpo Kirun adalah salah satu penghuni di sana, namun karna alasan prinsip ia memilin menjadi gelandangan, mencari secerca harapan pada kehidupan kota yang keras. bekerja tanpa putus asa.
Mpo Kirun duduk di halte sendiri tanpa teman atau sahabat, kesunyian terasa bergetar dalam hati kala rintik hujan mulai menampakan kengerian, sebuah dahan jatuh di sambar kilat, mpo Kirun mulai ketakutan kala beberapa Gerombolan anak jalanan mendatanginya dan tanpa izin, mengambil dan merampok hasil jerih payahnya hari ini. Ia menyesal dalam hatinya kenapa di jaman yang modern ini masih saja ada manusia yang berlaku demikian, tak peduli pada orang tua renta seperti dirinya.
Mpo kirun menangis sambil berjalan menyapu jalan-jalan yang kini mulai tergenang air hujan yang turun. Siapa yang peduli padanya?, ribuan kendaraan berlari di sekitarnya tanpa peduli akan dirinya, Mpo Kirun berjalan tanpa henti meski ada beberapa angkot sengaja berlari kencang dan menyipratkan air hujan padanya.
“apa! Jadi hasil hari ini di ambil gelandangan, makanya jangan jadi nenek-nenek, cuma bisanya nyusahin!. Seorang bapak berjenggot pengurus Panti sangat marah sambil mengunci gerbang Panti, tak peduli pada keadaan Mpo Kirun yang kelelahan di hari ini”
Terpaksa malam Ini Mpo kirun tak di Izinkan masuk oleh pengurus panti, ia terpaksa kembali ke jalan dengan Mangkok yang menjadi teman spesialnya, sambil terisak tangis menahan pedih di hati yang kini mulai meresap hingga tulang-tulangnya.
“pak izinkan aku tidur di teras sekalian menjaganya hingga pagi tiba. Mpo Kirun memohon pada kakek penghuni toko yang baru mau tutup.”
Kakek itu tak berkata sedikitpun, ia berdiri sejenak dan memandang Mpo Kirun dari ujung kaki Ke ujung Rambut.
“cepat pergi dari sini, kehadiranmu akan mengotori lantai toko ini! Kakek terlihat marah dan berlalu tanpa sudi menatap kembali Mpo kirun yang menggigil kedinginan karna hujan”
Mpo kirun melipat tangan, sambil menahan dingin yang kini merasuk tubuhnya, ia merasa sangat dingin, giginya bergetar hebat, ia bersender pada Kursi di dekat pohon tak jauh dari toko sambil sesekali bersin-bersin.
Kain kebaya tipis di tubuhnya, tak mampu mnghangatkan tubuhnya yang kedinginan.
Di keesokan harinya, Mpo Kirun terbangun karena wajahnya di siram oleh seember air.
“bangun nenek tua! Pasti kamu yang merampok dan membakar toko ku..! Kakek pemilik toko terlihat sangat marah sambil menunjuk tokonya yang kini tinggal puing kenangan.”
“ayo cepat mengaku!” seorang pria ikut angkat bicara, sepertinya ia karyawan di toko tersebut
“aku tak tau apa-apa tuan” Mpo Kirun mengiba dan meneteskan air matanya yang tak terbendung.
Tanpa perlawanan kakek dan karyawannya menyeret mpo Kirun, dalam waktu singkat kerumunan orang berdatangan untuk melihat apa yang terjadi.
Tanpa mengenal rasa kasihan kakek itu meraih balok dan memukul Mpo Kirun beberapa kali.
“Stop… stooop… stop. Aku tahu siapa pelaku yang membakar dan merampok tokomu!” Seorang wanita sekitar 25 tahun, melerai, tubuh mpo Kirun terlihat membiru di beberapa bagian,
Kake tua menjatuhkan kayunya, dan walau pada akhirnya pelaku di tangkap yang tak lain adalah Karyawannya sendiri, ia dendam karena gajinya yang minim dan tak di hargai menjadi alasan untuknya membakar toko majikanya.
Penyesalan tinggal lah penyesalan, di keesokan harinya, saat fajar menyingsing dan sinar-sinar menerpa bumi, mpo Kirun terbujur kaku, meninggal dalam keadaan tak terurus, tak layak dan kelaparan, siapa yang peduli dengan kematiannya?, Bahkan haknya sebagai manusia di ambil oleh mereka yang tak punya hati nurani. Mpo kirun telah tiada, ia pergi untuk selamanya, Kake pemilik toko jadi tersangka, tapi itu semua tak akan mengembalikan Raga Mpo kirun.
Lalu bagaimana dengan pengurus Panti?
Ia di tangkap dan di jebloskan ke penjara karena terbukti merampas kiriman uang dari sanak saudara untuk nenek mereka di Panti, namun di gunakan untuk kepentingan sendiri.
Mpo Kirun pergi dalam duka, meski jiwanya damai bersama tuhan.
Kita semua hidup dan akan mati, namun tingkah baik kita akan jadi saksi untuk mereka yang merasakannya.
Tamat
Cerpen Karangan: Alfred Pandie


my opinions about this short story is every human being has the right to live well, a beggar for example, there must be a reason why he was begging. The above story illustrates how sad the life of a grandmother who does not live with decent, he spent his time on the street, begging at stores and small shops. Zest for life with hard work to be an example for young people today. And wisdom that I got from the story on the last part was not suspicious because of his physical and his performance, but the look of her. Slander is very cruel than murder.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar