Kamis, 13 Juni 2013

HUJAN ITU MENYENANGKAN



HUJAN ITU MENYENANGKAN
Mentari pagi membangunkan Deril dari tidur lelapnya malam ini. Ia bangun cepat, karena hari ini adalah hari pertama ia menjadi siswa di SMA Tunas Bangsa. Ia segera mandi, mandi, lalu menyantap sarapan yang telah Ibunya buatkan.
“Makannya jangan cepat-cepat Ril,” kata Ibunya.
“Nanti telat Bu, jadi makannya dipercepat,” sambil tertawa kecil.
“Nanti tersendak bagaimana? Pelan-pelan saja,” kata Ibunya lagi.
“Hmmm,” tertawa kecil lagi, “Iya Bu, ini dipelankan,” menengok kanan dan kiri.
“Cari siapa Ril? Cari Ayah? Ayah baru mandi,” kata Ibu.
“Ooo Ayah yang antar Deril ‘kan?” tanya Deril ke Ibunya.
“Iya, sudah teruskan makannya,” sahut Ibu.
Setelah selesai sarapan, Ayahnya sarapan dulu. Setelah Ayahnya selesai Deril dan Ayahnya berangkat ke sekolah baru Deril. Menggunakan motor, Deril duduk di belakang dan mengucapkan salam ke Ibunya.
“Aku pergi dulu ya Bu?” kata Deril.
“Iya, jangan nakal ya?” kata Ibu.
“Pastinya Bu,” sambil menunjukkan jempolnya.
Perjalanan mereka diwarnai dengan canda dan tawa, sebuah keluarga kecil yang sangat harmonis. Tak terasa Deril telah menginjak bangku sekolah menengah akhir, lalu nanti ia telah kuliah dan meninggalkan orang tuanya.
Tak berapa lama kemudian, mereka berdua sampai di depan sekolah Deril, SMA Tunas Bangsa. Ternyata ada sudah banyak yang datang, dan mata Deril tertuju kepada seorang cewek, bermata sayu, kulit putih langsat, dan sedikit kantung mata yang unik. Tidak lupa, cewek itu mempunyai lesung pipi.
“Mau di motor saja atau mau sekolah?” tanya Ayahnya.
“Ehh, maaf Yah, tadi aku mengkhayal,” sambil tersenyum.
“Hmm, kalau begitu Ayah berangkat ke kantor, jangan nakal,” pesan Ayahnya.
“Baiklah Ayah,” sambil berjalan meninggalkan Ayahnya.
Deril pun mulai berjalan masuk ke dalam pekarangan sekolah. Ia mencari-cari cewek yang dia lihat tadi. Ia masih terbayang akan raut wajah yang misterius dari cewek itu. Ia kemudian duduk di salah satu kursi di koridor sekolah. Namun, tiba-tiba ada pengumuman bahwa seluruh siswa baru berkumpul di lapangan utama sekolah. Deril pun bergegas ke lapangan sekolah.
Semua siswa baru berbaris di depan guru-guru serta kakak-kakak kelas yang akan meng-ospek mereka. Deril masih saja tidak bisa tenang mencari cewek itu. Kepala sekolah pun mengucapkan kata sambutan dan ucapan selamat datang kepada siswa dan siswi baru SMA Tunas Bangsa.
Setelah kepala sekolah memberi sedikit pidato, kami di bagi dalam beberapa bagian, setelah itu, kakak kelasnya diberi tugas untuk mengkordinir setiap gugusnya. Setelah itu, gugus Deril di beri perintah untuk membersihkan bagian belakang sekolah. Saat membersihkan terjadi kejadian unik nan indah.
“Auuuh,” kata mereka berdua bersamaan.
“Etto, maaf maaf aku tidak sengaja, sini aku pungut kembali sampahnya,” kata Deril.
“Tidak apa-apa, sini biar aku saja,” sahut cewek itu.
“Kamu…” omongan Deril terpotong.
“Salam kenal,” sambil tersenyum, “Namaku Yui,” katanya.
“Yui? Namaku Deril,” jawab Deril.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Hmm iya, salam kenal juga,” kata Deril.
Setelah membersihkan belakang sekolah, Deril melihat Yui duduk di depan kelas, mengelap keringannya dengan sebuah sapu tangan berwarna putih. Deril pun bergegas pergi ke kantin sekolah untuk membeli air kemasan.
“Ini,” kata Deril sambil memberikan air itu ke Yui.
“Aku tidak minum air begitu, aku bawa air sendiri,” jawab Yui.
“Hmm, kok tidak? Aku minum saja kalau begitu,” kata Deril.
“Iya, kamu pasti haus, minum saja,” jawab Yui sambil tersenyum.
Akhirnya mereka sekarang memiliki status sebagai teman. Selama ospek selama tiga hari berturut, mereka selalu saja bersama. Hingga pada hari terakhir, mereka tambah dekat dan semakin dekat. Setelah ospek selesai, mereka juga sekelas, jadi mereka duduk bersebelahan. Sungguh suasana tenang, senang, bahagia, bercambur menjadi satu dalam bingkai persahabatan.
“Kok wajahmu tiba-tiba Pucat?” tanya Deril.
“Mungkin hanya pengaruh lelah saja, Ril,” jawab Yui.
“Kamu sakit ya?” tanya Deril.
“Tidak, percaya sama aku, ini sudah biasa kok,” jawab Yui.
“Di luar lagi hujan, mau ikut?”
“Untuk apa?”
“Hujan itu menyenangkan, bisa buat perasaanku jadi tenang,” jelasnya.
“Baiklah,” kata Yui.
Deril dan Yui berdiri di depan kelas, menengadahkan tangan ke atas, seraya kedua mata Deril tertutup menikmati setiap tetes air yang jadi ditangannya. Yui memerhatikan Deril.
“Yui, ayo coba juga,” kata Deril.
Yui pun mengikuti apa yang Deril lakukan. Yui menutup kedua matanya dan juga menikmati setiap tetes air yang jatuh ke telapak tangannya yang sudah pucat. Tangan Deril juga sudah mulai mengkerut karena dinginnya air hujan itu.
“Yui, entar aku jemput di rumahmu yah?” ajak Deril.
“Untuk apa?” tanya Yui.
“Itu rahasia,” sambil mencubit kedua pipi Yui.
“Eh sakit tau,” jawab sambil tersenyum.
Deril tengah tertidur karena udara sangat nikmat untuk membuat tidur menjadi berkualitas, tapi tiba-tiba Ibu Deril datang dan membangunkannya.
“Ril, kamu jadi pergi? Ini Ibu sudah bangunkan,” kata Ibunya.
“Ia Bu, jadi kok,” jawabnya.
Deril pun bergegas mandi dan mengganti pakaiannya. Ia kemudian meminta izin kepada Ayahnya untuk menggunakan motor untuk ke rumah Yui. Ia sangat senang bisa berjalan-jalan dengan cewek seperti Yui, mereka adalah sahabat yang bisa mempertahankan arti simpati itu sendiri. Cinta dan kasih sayang hanya sebatas sahabat saja.
Deril pun mulai masuk ke dalam pekarangan rumah Yui. Rumah Yui cukup besar, orang tua Yui adalah penguhasa sukses di kota ini. Deril sangat heran, karena rumah Yui sangat sepi dan seperti tak ada yang tinggal di tempat itu.
“Cari siapa dik?” tanya seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu di rumah Yui.
“Cari Yui, Yuinya ke mana?” tanya Deril.
“Tadi, Yui sama orangtuanya pergi keluar, dan tidak kasih tau apa-apa mereka mau ke mana,” jelas wanita itu.
Di perjalanan Yui menuju rumah sakit, Yui meminta agar jangan terlalu lama karena ada janji.
“Ma, ke rumah sakit jangan lama, aku ada janji,” pinta Yui kepada Ibunya.
“Nanti diusahakan,” kata Ibunya sambil mendekap tubuh putrinya yang kembali pucat.
Karena hari sudah malam, tapi Yui belum selesai memeriksakan dirinya. Karena, saat pulang sekolah, Yui tiba-tiba tidak bisa melihat dengan mata kanannya. Mungkin ini pengaruh dari kanker yang ada di otaknya.
“Ma, bisa SMS teman aku?” pinta Yui.
“Mama, mau menulis apa?” tanya Ibunya sambil mengeluarkan handphonenya.
“Tulis, ‘Maaf ya Ril, aku tidak bisa datang, karena aku ada acara keluarga sangat mendadakan dan tidak bisa di tunda,’ itu saja Ma,” kata Yui.
“Tidak apa-apakah kalau kamu bohong? Kenapa kamu tidak mencerita yang sebenarnya?” tanya Ibunya.
“Takut nanti dia terlalu khawatir Ma, dia itu sahabat Yui yang paling dekat dengan Yui,” jawabnya.
Keesokan harinya, Deril menunggu Yui di bangkunya, ia menunggu dan menunggu, akhirnya Yui datang dengan wajah pucat pasinya. Ia langsung menghampiri Yui.
“Kamu jahat sekali,” sambil mencubit pipinya.
“Tidak apa-apa, tadi subuh baru sampai,” katanya sambil berjalan ke bangkunya.
“Jadi, sebentar sore bisa ‘kan?” pinta Deril sekali lagi.
“Ok, tapi tidak usah jemput, ok?” katanya.
“Kalau begitu maunya, ya tidak apa-apa,” jawabnya.
Yui masih menyembunyikan penyakitnya, penyakit Yui kanker otak stadium akhir. Yui tidak mau melakukan kemotrapi, dia tidak mau rambutnya rontok dan membuat Deril lebih khawatir lagi. Tiba-tiba mata Yui yang sebelah kanan tidak dapat melihat kembali, Deril tidak tau itu.
Sepulang sekolah, mata Yui berangsur membaik kembali. Mungkin kanker yang sudah sangat parah ini bisa membuat kedua tangan dan kaki tak bisa digerakkan lagi. Yui dan Deril berpisah di depan sekolah.
Tepat pukul empat sore, Deril sudah ada di danau. Ia menunggu Yui yang belum datang. Iya menunggu limabelas menit, tigapuluh menit, satu jam, sekarang sudah jam lima. Yui tak kunjung datang, Deril mendapatkan SMS dari Yui, seperti kemarin, sebuah SMS permintaan maaf.
Deril sangat kesal, ia tak bisa berdua dengan Yui. Yui tetap saja menyembunyikan penyakitnya. Dia hanya bisa menikmati kebersamaannya bersama Deril, karena hari ini ia di vonis hidupnya sudah tidak lama lagi.
Di rumah sakit yang sama, Yui datang di tempat itu dan divonis seperti itu, Ayah dan Ibunya sangat merasa sedih. Meski ia tidak tau hal itu, tetapi ia punya semangat hidup untuk memberi sebuah kebahagian kepada sahabatnya, Deril.
Sesampai di rumah, Deril sangat kesal. Dia tidak terima karena Yui telah dua kelas meninggalkan janjinya untuk bertemu di danau.
“Kenapa cemberut begitu?” tanya Ibunya.
“Tidak apa-apa Bu,” jawab Deril.
“Hmm, ok ok,” kata Ibunya.
Ia kemudian merinisiatif untuk menelfon Yui. Ia pun menelpon tapi ia hanya mendapatkan kalimat, “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan …” Deril kemudian mencoba mengirim SMS tapi SMSnya tidak bisa terkirim.
Akhirnya, setelah jam makan malam, ia minta izin ke Ibunya untuk ke rumah Yui. Sesampai di sana, sama seperti kemarin, rumahnya hanya ada si pembantu. Ia pun bertanya kepada pembantunya.
“Yui ke mana mbak?” tanya Deril.
“Anuuu, Yui…” terpotong oleh omongan Deril.
“Yui kenapa?!” tanya Deril.
“Kankernya sudah semakin parah, ia tidak bisa berjalan dan melihat,” jelasnya.
“Apa?” Deril sangat kaget, “Sekarang Yui ada di mana?” tanya Deril.
“Di Rumah Sakit Harapan,” jawab wanita itu.
Deril bergegas ke rumah sakit, sesampai di rumah sakit ia mencari kamar tempat Yui di rawat. Ia melihat kedua orangtua Yui di depan sebuah ruangan dengan wajah yang sangat cemas dan sangat sedih.
“Malam, Om, Tante, Yui kenapa?” tanya Deril.
“Deril?” tanya Ibunya Yui.
“Iya tante, kenapa? Kenapa dengan Yui?” tanya Deril cemas.
“Tadi, waktu di sekolah, katanya dia tidak bisa melihat dengan mata kanannya, terus, waktu mau pergi tadi, tiba-tiba ia tidak bisa melihat dan lumpuh,” jelas Ibunya panjang lebar.
“Tapi, dia tidak pernah cerita Tante,” kata Deril.
“Dia tidak mau kamu khawatir,” lalu duduk, “Jadi dia tidak pernah datang karena kami selalu membawanya periksa, lalu …,” Ibunya Yui menangis, “Hidup Yui sudah tidak lama lagi, Om dan Tante sudah ikhlas kalau Yui meninggal,” lanjut Ibunya Yui.
“Yui punya semangat hidup yang hebat Tan, dia pasti bisa melewati ini,” kata Deril menyemangati.
“Kanker otaknya sudah stadium terakhir, Nak,” kata Ibunya Yui.
Deril langsung terduduk diam, lesu, sedih, di samping Ibu dan Ayahnya Yui. Kemudian handphonenya bordering.
“Kamu ke mana? Kenapa belum pulang, ini sudah jam sembilan,” tanya Ibunya dengan nada khawatir.
“Begini Bu, temanku ada yang sakit, sakitnya itu sangat parah, besokkan hari minggu, aku mau bermalam di rumah sakit, untuk temani temanku Bu. Aku di Rumah Sakit Harapan Kita, kamar mawar 48,” jelas Deril.
“Ooo, ia, kamu hati-hati ya? Nanti besok Ibu ke sana, Ayah juga belum pulang,” kata Ibunya.
“Ok Bu, Ibu juga hati-hati di rumah sendirian,” kata Deril.
“Ia, Ibu hat-hati kok.”
“Kalau begitu, sudah ya Bu.”
“Iya, ingat hati-hati.”
Tak berapa lama kemudian, dokter keluar dari kamar Yui. Kedua orangtua Yui ikut bersama dokter ke ruangannya. Deril pun masuk ke kamar Yui di rawat. Deril melihat muka pucat Yui, semakin pucat, seperti sudah tak ada lagi darah yang mengalir. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Yui, “Kamu nakal, kamu tidak kasih tau aku tentang ini, hari itu kenapa kamu tidak jujur saja,” seraya menggenggam tangan Yui. Tangan Yui terasa sangat dingin, akhirnya Deril pun tertidur lelap di samping Yui.
Tepat pukul 23.00, Deril terbangun karena ia merasa ada yang mengelus kepalanya dan bersenandung kecil. Ia kaget dan melihat Yui mengelus kepalanya. Yui kemudian tersenyum kea rah Deril.
“Hai,” sapa Yui.
“Kamu nakal,” seperti biasa, mencubit pipi Yui.
“Tangan-tanganku sudah bisa bergerak tapi kakiku rasanya mati rasa Ril,” kata Yui.
“Hmm, aku sudah tau semua, kamu pasti sembuh,” menyemangati Yui.
“Ril, di luar hujan, kalau aku bisa jalan pasti aku bisa menikmati setiap tetes air hujan yang membuat hati kita menjadi tenang, dan itu sangat menyenangkan, apalagi bersama kamu,” kata Yui panjang lebar.
“Air hujan telah mewakili setiap air mataku, atas apa yang terjadi kepadamu Yui, aku takkan bisa menadah banyak air hujan ditanganku, tapi aku bisa menahanmu bersamaku di dunia ini dengan kedua tanganku,” mata Deril berkaca-kaca.
“Ih kamu cengeng, masa nangis,” kata Yui menghapuskan air matanya.
“Aku sayang kamu sahabatku,” Deril mulai tersentuh hatinya.
“Jika malam ini aku berakhir di sini, ingatlah aku sebagai hujan yang bisa menenangkan dan membuat perasaanmu bahagia, tapi aku rasa aku sudah sampai di sini,” kata Yui
“Jangan bilang seperti itu, kita akan masih bersama-sama, sampai kita lulus SMA,” kata Deril
Mata Yui perlahan-lahan mulai tertutup, dengan sebuah senyuman manis terakhir diwajahnya. Deril menangis dan terus memanggil nama Yui, Deril juga memanggil suster dan membangunkan kedua orang tua Yui. Ayah dan Ibunya Yui, serta Deril telah kehilangan seseorang yang berharga. Sampai akhir hayatnya, Yui tetap menjadi hujan yang menyenangkan bagi Deril, teman-temannya, serta kedua orang tuanya.
(TAMAT)
Cerpen Karangan: Gufran Algifari
Blog:
http://gupe81.blogspot.com
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/hujan-itu-menyenangkan.html



my opinions about this short story is the friendship and the memories that are both fun, friends pobud there when we happy or sad, friends do not look at whether we are rich or poor, friend can understand and accept our circumstances, and that's true friend. Memories is a memory that we can not forget just like that, a lot of events that are skipped, happy or sad events, memories pobud remind us in times beautiful. And it will continue to pobud remembered in the hearts and minds.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar