HUJAN ITU MENYENANGKAN
Mentari
pagi membangunkan Deril dari tidur lelapnya malam ini. Ia bangun cepat, karena
hari ini adalah hari pertama ia menjadi siswa di SMA Tunas Bangsa. Ia segera
mandi, mandi, lalu menyantap sarapan yang telah Ibunya buatkan.
“Makannya
jangan cepat-cepat Ril,” kata Ibunya.
“Nanti telat Bu, jadi makannya dipercepat,” sambil tertawa kecil.
“Nanti tersendak bagaimana? Pelan-pelan saja,” kata Ibunya lagi.
“Hmmm,” tertawa kecil lagi, “Iya Bu, ini dipelankan,” menengok kanan dan kiri.
“Cari siapa Ril? Cari Ayah? Ayah baru mandi,” kata Ibu.
“Ooo Ayah yang antar Deril ‘kan?” tanya Deril ke Ibunya.
“Iya, sudah teruskan makannya,” sahut Ibu.
Setelah selesai sarapan, Ayahnya sarapan dulu. Setelah Ayahnya selesai Deril dan Ayahnya berangkat ke sekolah baru Deril. Menggunakan motor, Deril duduk di belakang dan mengucapkan salam ke Ibunya.
“Aku pergi dulu ya Bu?” kata Deril.
“Iya, jangan nakal ya?” kata Ibu.
“Pastinya Bu,” sambil menunjukkan jempolnya.
“Nanti telat Bu, jadi makannya dipercepat,” sambil tertawa kecil.
“Nanti tersendak bagaimana? Pelan-pelan saja,” kata Ibunya lagi.
“Hmmm,” tertawa kecil lagi, “Iya Bu, ini dipelankan,” menengok kanan dan kiri.
“Cari siapa Ril? Cari Ayah? Ayah baru mandi,” kata Ibu.
“Ooo Ayah yang antar Deril ‘kan?” tanya Deril ke Ibunya.
“Iya, sudah teruskan makannya,” sahut Ibu.
Setelah selesai sarapan, Ayahnya sarapan dulu. Setelah Ayahnya selesai Deril dan Ayahnya berangkat ke sekolah baru Deril. Menggunakan motor, Deril duduk di belakang dan mengucapkan salam ke Ibunya.
“Aku pergi dulu ya Bu?” kata Deril.
“Iya, jangan nakal ya?” kata Ibu.
“Pastinya Bu,” sambil menunjukkan jempolnya.
Perjalanan
mereka diwarnai dengan canda dan tawa, sebuah keluarga kecil yang sangat
harmonis. Tak terasa Deril telah menginjak bangku sekolah menengah akhir, lalu
nanti ia telah kuliah dan meninggalkan orang tuanya.
Tak
berapa lama kemudian, mereka berdua sampai di depan sekolah Deril, SMA Tunas Bangsa.
Ternyata ada sudah banyak yang datang, dan mata Deril tertuju kepada seorang
cewek, bermata sayu, kulit putih langsat, dan sedikit kantung mata yang unik.
Tidak lupa, cewek itu mempunyai lesung pipi.
“Mau di
motor saja atau mau sekolah?” tanya Ayahnya.
“Ehh, maaf Yah, tadi aku mengkhayal,” sambil tersenyum.
“Hmm, kalau begitu Ayah berangkat ke kantor, jangan nakal,” pesan Ayahnya.
“Baiklah Ayah,” sambil berjalan meninggalkan Ayahnya.
“Ehh, maaf Yah, tadi aku mengkhayal,” sambil tersenyum.
“Hmm, kalau begitu Ayah berangkat ke kantor, jangan nakal,” pesan Ayahnya.
“Baiklah Ayah,” sambil berjalan meninggalkan Ayahnya.
Deril
pun mulai berjalan masuk ke dalam pekarangan sekolah. Ia mencari-cari cewek
yang dia lihat tadi. Ia masih terbayang akan raut wajah yang misterius dari
cewek itu. Ia kemudian duduk di salah satu kursi di koridor sekolah. Namun,
tiba-tiba ada pengumuman bahwa seluruh siswa baru berkumpul di lapangan utama
sekolah. Deril pun bergegas ke lapangan sekolah.
Semua
siswa baru berbaris di depan guru-guru serta kakak-kakak kelas yang akan
meng-ospek mereka. Deril masih saja tidak bisa tenang mencari cewek itu. Kepala
sekolah pun mengucapkan kata sambutan dan ucapan selamat datang kepada siswa
dan siswi baru SMA Tunas Bangsa.
Setelah
kepala sekolah memberi sedikit pidato, kami di bagi dalam beberapa bagian,
setelah itu, kakak kelasnya diberi tugas untuk mengkordinir setiap gugusnya.
Setelah itu, gugus Deril di beri perintah untuk membersihkan bagian belakang
sekolah. Saat membersihkan terjadi kejadian unik nan indah.
“Auuuh,”
kata mereka berdua bersamaan.
“Etto, maaf maaf aku tidak sengaja, sini aku pungut kembali sampahnya,” kata Deril.
“Tidak apa-apa, sini biar aku saja,” sahut cewek itu.
“Kamu…” omongan Deril terpotong.
“Salam kenal,” sambil tersenyum, “Namaku Yui,” katanya.
“Yui? Namaku Deril,” jawab Deril.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Hmm iya, salam kenal juga,” kata Deril.
“Etto, maaf maaf aku tidak sengaja, sini aku pungut kembali sampahnya,” kata Deril.
“Tidak apa-apa, sini biar aku saja,” sahut cewek itu.
“Kamu…” omongan Deril terpotong.
“Salam kenal,” sambil tersenyum, “Namaku Yui,” katanya.
“Yui? Namaku Deril,” jawab Deril.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Hmm iya, salam kenal juga,” kata Deril.
Setelah
membersihkan belakang sekolah, Deril melihat Yui duduk di depan kelas, mengelap
keringannya dengan sebuah sapu tangan berwarna putih. Deril pun bergegas pergi
ke kantin sekolah untuk membeli air kemasan.
“Ini,”
kata Deril sambil memberikan air itu ke Yui.
“Aku tidak minum air begitu, aku bawa air sendiri,” jawab Yui.
“Hmm, kok tidak? Aku minum saja kalau begitu,” kata Deril.
“Iya, kamu pasti haus, minum saja,” jawab Yui sambil tersenyum.
“Aku tidak minum air begitu, aku bawa air sendiri,” jawab Yui.
“Hmm, kok tidak? Aku minum saja kalau begitu,” kata Deril.
“Iya, kamu pasti haus, minum saja,” jawab Yui sambil tersenyum.
Akhirnya
mereka sekarang memiliki status sebagai teman. Selama ospek selama tiga hari
berturut, mereka selalu saja bersama. Hingga pada hari terakhir, mereka tambah
dekat dan semakin dekat. Setelah ospek selesai, mereka juga sekelas, jadi
mereka duduk bersebelahan. Sungguh suasana tenang, senang, bahagia, bercambur
menjadi satu dalam bingkai persahabatan.
“Kok
wajahmu tiba-tiba Pucat?” tanya Deril.
“Mungkin hanya pengaruh lelah saja, Ril,” jawab Yui.
“Kamu sakit ya?” tanya Deril.
“Tidak, percaya sama aku, ini sudah biasa kok,” jawab Yui.
“Di luar lagi hujan, mau ikut?”
“Untuk apa?”
“Hujan itu menyenangkan, bisa buat perasaanku jadi tenang,” jelasnya.
“Baiklah,” kata Yui.
“Mungkin hanya pengaruh lelah saja, Ril,” jawab Yui.
“Kamu sakit ya?” tanya Deril.
“Tidak, percaya sama aku, ini sudah biasa kok,” jawab Yui.
“Di luar lagi hujan, mau ikut?”
“Untuk apa?”
“Hujan itu menyenangkan, bisa buat perasaanku jadi tenang,” jelasnya.
“Baiklah,” kata Yui.
Deril
dan Yui berdiri di depan kelas, menengadahkan tangan ke atas, seraya kedua mata
Deril tertutup menikmati setiap tetes air yang jadi ditangannya. Yui
memerhatikan Deril.
“Yui,
ayo coba juga,” kata Deril.
Yui pun
mengikuti apa yang Deril lakukan. Yui menutup kedua matanya dan juga menikmati
setiap tetes air yang jatuh ke telapak tangannya yang sudah pucat. Tangan Deril
juga sudah mulai mengkerut karena dinginnya air hujan itu.
“Yui,
entar aku jemput di rumahmu yah?” ajak Deril.
“Untuk apa?” tanya Yui.
“Itu rahasia,” sambil mencubit kedua pipi Yui.
“Eh sakit tau,” jawab sambil tersenyum.
“Untuk apa?” tanya Yui.
“Itu rahasia,” sambil mencubit kedua pipi Yui.
“Eh sakit tau,” jawab sambil tersenyum.
—
Deril
tengah tertidur karena udara sangat nikmat untuk membuat tidur menjadi
berkualitas, tapi tiba-tiba Ibu Deril datang dan membangunkannya.
“Ril,
kamu jadi pergi? Ini Ibu sudah bangunkan,” kata Ibunya.
“Ia Bu, jadi kok,” jawabnya.
“Ia Bu, jadi kok,” jawabnya.
Deril
pun bergegas mandi dan mengganti pakaiannya. Ia kemudian meminta izin kepada
Ayahnya untuk menggunakan motor untuk ke rumah Yui. Ia sangat senang bisa
berjalan-jalan dengan cewek seperti Yui, mereka adalah sahabat yang bisa
mempertahankan arti simpati itu sendiri. Cinta dan kasih sayang hanya sebatas
sahabat saja.
Deril
pun mulai masuk ke dalam pekarangan rumah Yui. Rumah Yui cukup besar, orang tua
Yui adalah penguhasa sukses di kota ini. Deril sangat heran, karena rumah Yui
sangat sepi dan seperti tak ada yang tinggal di tempat itu.
“Cari
siapa dik?” tanya seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu di
rumah Yui.
“Cari Yui, Yuinya ke mana?” tanya Deril.
“Tadi, Yui sama orangtuanya pergi keluar, dan tidak kasih tau apa-apa mereka mau ke mana,” jelas wanita itu.
Di perjalanan Yui menuju rumah sakit, Yui meminta agar jangan terlalu lama karena ada janji.
“Ma, ke rumah sakit jangan lama, aku ada janji,” pinta Yui kepada Ibunya.
“Nanti diusahakan,” kata Ibunya sambil mendekap tubuh putrinya yang kembali pucat.
“Cari Yui, Yuinya ke mana?” tanya Deril.
“Tadi, Yui sama orangtuanya pergi keluar, dan tidak kasih tau apa-apa mereka mau ke mana,” jelas wanita itu.
Di perjalanan Yui menuju rumah sakit, Yui meminta agar jangan terlalu lama karena ada janji.
“Ma, ke rumah sakit jangan lama, aku ada janji,” pinta Yui kepada Ibunya.
“Nanti diusahakan,” kata Ibunya sambil mendekap tubuh putrinya yang kembali pucat.
Karena
hari sudah malam, tapi Yui belum selesai memeriksakan dirinya. Karena, saat
pulang sekolah, Yui tiba-tiba tidak bisa melihat dengan mata kanannya. Mungkin
ini pengaruh dari kanker yang ada di otaknya.
“Ma,
bisa SMS teman aku?” pinta Yui.
“Mama, mau menulis apa?” tanya Ibunya sambil mengeluarkan handphonenya.
“Tulis, ‘Maaf ya Ril, aku tidak bisa datang, karena aku ada acara keluarga sangat mendadakan dan tidak bisa di tunda,’ itu saja Ma,” kata Yui.
“Tidak apa-apakah kalau kamu bohong? Kenapa kamu tidak mencerita yang sebenarnya?” tanya Ibunya.
“Takut nanti dia terlalu khawatir Ma, dia itu sahabat Yui yang paling dekat dengan Yui,” jawabnya.
“Mama, mau menulis apa?” tanya Ibunya sambil mengeluarkan handphonenya.
“Tulis, ‘Maaf ya Ril, aku tidak bisa datang, karena aku ada acara keluarga sangat mendadakan dan tidak bisa di tunda,’ itu saja Ma,” kata Yui.
“Tidak apa-apakah kalau kamu bohong? Kenapa kamu tidak mencerita yang sebenarnya?” tanya Ibunya.
“Takut nanti dia terlalu khawatir Ma, dia itu sahabat Yui yang paling dekat dengan Yui,” jawabnya.
—
Keesokan
harinya, Deril menunggu Yui di bangkunya, ia menunggu dan menunggu, akhirnya
Yui datang dengan wajah pucat pasinya. Ia langsung menghampiri Yui.
“Kamu
jahat sekali,” sambil mencubit pipinya.
“Tidak apa-apa, tadi subuh baru sampai,” katanya sambil berjalan ke bangkunya.
“Jadi, sebentar sore bisa ‘kan?” pinta Deril sekali lagi.
“Ok, tapi tidak usah jemput, ok?” katanya.
“Kalau begitu maunya, ya tidak apa-apa,” jawabnya.
“Tidak apa-apa, tadi subuh baru sampai,” katanya sambil berjalan ke bangkunya.
“Jadi, sebentar sore bisa ‘kan?” pinta Deril sekali lagi.
“Ok, tapi tidak usah jemput, ok?” katanya.
“Kalau begitu maunya, ya tidak apa-apa,” jawabnya.
Yui
masih menyembunyikan penyakitnya, penyakit Yui kanker otak stadium akhir. Yui
tidak mau melakukan kemotrapi, dia tidak mau rambutnya rontok dan membuat Deril
lebih khawatir lagi. Tiba-tiba mata Yui yang sebelah kanan tidak dapat melihat
kembali, Deril tidak tau itu.
Sepulang sekolah, mata Yui berangsur membaik kembali. Mungkin kanker yang sudah sangat parah ini bisa membuat kedua tangan dan kaki tak bisa digerakkan lagi. Yui dan Deril berpisah di depan sekolah.
Sepulang sekolah, mata Yui berangsur membaik kembali. Mungkin kanker yang sudah sangat parah ini bisa membuat kedua tangan dan kaki tak bisa digerakkan lagi. Yui dan Deril berpisah di depan sekolah.
—
Tepat
pukul empat sore, Deril sudah ada di danau. Ia menunggu Yui yang belum datang.
Iya menunggu limabelas menit, tigapuluh menit, satu jam, sekarang sudah jam
lima. Yui tak kunjung datang, Deril mendapatkan SMS dari Yui, seperti kemarin,
sebuah SMS permintaan maaf.
Deril
sangat kesal, ia tak bisa berdua dengan Yui. Yui tetap saja menyembunyikan penyakitnya.
Dia hanya bisa menikmati kebersamaannya bersama Deril, karena hari ini ia di
vonis hidupnya sudah tidak lama lagi.
Di
rumah sakit yang sama, Yui datang di tempat itu dan divonis seperti itu, Ayah
dan Ibunya sangat merasa sedih. Meski ia tidak tau hal itu, tetapi ia punya
semangat hidup untuk memberi sebuah kebahagian kepada sahabatnya, Deril.
Sesampai
di rumah, Deril sangat kesal. Dia tidak terima karena Yui telah dua kelas
meninggalkan janjinya untuk bertemu di danau.
“Kenapa
cemberut begitu?” tanya Ibunya.
“Tidak apa-apa Bu,” jawab Deril.
“Hmm, ok ok,” kata Ibunya.
“Tidak apa-apa Bu,” jawab Deril.
“Hmm, ok ok,” kata Ibunya.
Ia
kemudian merinisiatif untuk menelfon Yui. Ia pun menelpon tapi ia hanya
mendapatkan kalimat, “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di
luar jangkauan …” Deril kemudian mencoba mengirim SMS tapi SMSnya tidak bisa
terkirim.
Akhirnya,
setelah jam makan malam, ia minta izin ke Ibunya untuk ke rumah Yui. Sesampai
di sana, sama seperti kemarin, rumahnya hanya ada si pembantu. Ia pun bertanya
kepada pembantunya.
“Yui ke
mana mbak?” tanya Deril.
“Anuuu, Yui…” terpotong oleh omongan Deril.
“Yui kenapa?!” tanya Deril.
“Kankernya sudah semakin parah, ia tidak bisa berjalan dan melihat,” jelasnya.
“Apa?” Deril sangat kaget, “Sekarang Yui ada di mana?” tanya Deril.
“Di Rumah Sakit Harapan,” jawab wanita itu.
“Anuuu, Yui…” terpotong oleh omongan Deril.
“Yui kenapa?!” tanya Deril.
“Kankernya sudah semakin parah, ia tidak bisa berjalan dan melihat,” jelasnya.
“Apa?” Deril sangat kaget, “Sekarang Yui ada di mana?” tanya Deril.
“Di Rumah Sakit Harapan,” jawab wanita itu.
Deril
bergegas ke rumah sakit, sesampai di rumah sakit ia mencari kamar tempat Yui di
rawat. Ia melihat kedua orangtua Yui di depan sebuah ruangan dengan wajah yang
sangat cemas dan sangat sedih.
“Malam,
Om, Tante, Yui kenapa?” tanya Deril.
“Deril?” tanya Ibunya Yui.
“Iya tante, kenapa? Kenapa dengan Yui?” tanya Deril cemas.
“Tadi, waktu di sekolah, katanya dia tidak bisa melihat dengan mata kanannya, terus, waktu mau pergi tadi, tiba-tiba ia tidak bisa melihat dan lumpuh,” jelas Ibunya panjang lebar.
“Tapi, dia tidak pernah cerita Tante,” kata Deril.
“Dia tidak mau kamu khawatir,” lalu duduk, “Jadi dia tidak pernah datang karena kami selalu membawanya periksa, lalu …,” Ibunya Yui menangis, “Hidup Yui sudah tidak lama lagi, Om dan Tante sudah ikhlas kalau Yui meninggal,” lanjut Ibunya Yui.
“Yui punya semangat hidup yang hebat Tan, dia pasti bisa melewati ini,” kata Deril menyemangati.
“Kanker otaknya sudah stadium terakhir, Nak,” kata Ibunya Yui.
Deril langsung terduduk diam, lesu, sedih, di samping Ibu dan Ayahnya Yui. Kemudian handphonenya bordering.
“Kamu ke mana? Kenapa belum pulang, ini sudah jam sembilan,” tanya Ibunya dengan nada khawatir.
“Begini Bu, temanku ada yang sakit, sakitnya itu sangat parah, besokkan hari minggu, aku mau bermalam di rumah sakit, untuk temani temanku Bu. Aku di Rumah Sakit Harapan Kita, kamar mawar 48,” jelas Deril.
“Ooo, ia, kamu hati-hati ya? Nanti besok Ibu ke sana, Ayah juga belum pulang,” kata Ibunya.
“Ok Bu, Ibu juga hati-hati di rumah sendirian,” kata Deril.
“Ia, Ibu hat-hati kok.”
“Kalau begitu, sudah ya Bu.”
“Iya, ingat hati-hati.”
“Deril?” tanya Ibunya Yui.
“Iya tante, kenapa? Kenapa dengan Yui?” tanya Deril cemas.
“Tadi, waktu di sekolah, katanya dia tidak bisa melihat dengan mata kanannya, terus, waktu mau pergi tadi, tiba-tiba ia tidak bisa melihat dan lumpuh,” jelas Ibunya panjang lebar.
“Tapi, dia tidak pernah cerita Tante,” kata Deril.
“Dia tidak mau kamu khawatir,” lalu duduk, “Jadi dia tidak pernah datang karena kami selalu membawanya periksa, lalu …,” Ibunya Yui menangis, “Hidup Yui sudah tidak lama lagi, Om dan Tante sudah ikhlas kalau Yui meninggal,” lanjut Ibunya Yui.
“Yui punya semangat hidup yang hebat Tan, dia pasti bisa melewati ini,” kata Deril menyemangati.
“Kanker otaknya sudah stadium terakhir, Nak,” kata Ibunya Yui.
Deril langsung terduduk diam, lesu, sedih, di samping Ibu dan Ayahnya Yui. Kemudian handphonenya bordering.
“Kamu ke mana? Kenapa belum pulang, ini sudah jam sembilan,” tanya Ibunya dengan nada khawatir.
“Begini Bu, temanku ada yang sakit, sakitnya itu sangat parah, besokkan hari minggu, aku mau bermalam di rumah sakit, untuk temani temanku Bu. Aku di Rumah Sakit Harapan Kita, kamar mawar 48,” jelas Deril.
“Ooo, ia, kamu hati-hati ya? Nanti besok Ibu ke sana, Ayah juga belum pulang,” kata Ibunya.
“Ok Bu, Ibu juga hati-hati di rumah sendirian,” kata Deril.
“Ia, Ibu hat-hati kok.”
“Kalau begitu, sudah ya Bu.”
“Iya, ingat hati-hati.”
Tak
berapa lama kemudian, dokter keluar dari kamar Yui. Kedua orangtua Yui ikut
bersama dokter ke ruangannya. Deril pun masuk ke kamar Yui di rawat. Deril
melihat muka pucat Yui, semakin pucat, seperti sudah tak ada lagi darah yang
mengalir. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Yui, “Kamu nakal, kamu tidak kasih
tau aku tentang ini, hari itu kenapa kamu tidak jujur saja,” seraya menggenggam
tangan Yui. Tangan Yui terasa sangat dingin, akhirnya Deril pun tertidur lelap
di samping Yui.
Tepat
pukul 23.00, Deril terbangun karena ia merasa ada yang mengelus kepalanya dan
bersenandung kecil. Ia kaget dan melihat Yui mengelus kepalanya. Yui kemudian
tersenyum kea rah Deril.
“Hai,”
sapa Yui.
“Kamu nakal,” seperti biasa, mencubit pipi Yui.
“Tangan-tanganku sudah bisa bergerak tapi kakiku rasanya mati rasa Ril,” kata Yui.
“Hmm, aku sudah tau semua, kamu pasti sembuh,” menyemangati Yui.
“Ril, di luar hujan, kalau aku bisa jalan pasti aku bisa menikmati setiap tetes air hujan yang membuat hati kita menjadi tenang, dan itu sangat menyenangkan, apalagi bersama kamu,” kata Yui panjang lebar.
“Air hujan telah mewakili setiap air mataku, atas apa yang terjadi kepadamu Yui, aku takkan bisa menadah banyak air hujan ditanganku, tapi aku bisa menahanmu bersamaku di dunia ini dengan kedua tanganku,” mata Deril berkaca-kaca.
“Ih kamu cengeng, masa nangis,” kata Yui menghapuskan air matanya.
“Aku sayang kamu sahabatku,” Deril mulai tersentuh hatinya.
“Jika malam ini aku berakhir di sini, ingatlah aku sebagai hujan yang bisa menenangkan dan membuat perasaanmu bahagia, tapi aku rasa aku sudah sampai di sini,” kata Yui
“Jangan bilang seperti itu, kita akan masih bersama-sama, sampai kita lulus SMA,” kata Deril
“Kamu nakal,” seperti biasa, mencubit pipi Yui.
“Tangan-tanganku sudah bisa bergerak tapi kakiku rasanya mati rasa Ril,” kata Yui.
“Hmm, aku sudah tau semua, kamu pasti sembuh,” menyemangati Yui.
“Ril, di luar hujan, kalau aku bisa jalan pasti aku bisa menikmati setiap tetes air hujan yang membuat hati kita menjadi tenang, dan itu sangat menyenangkan, apalagi bersama kamu,” kata Yui panjang lebar.
“Air hujan telah mewakili setiap air mataku, atas apa yang terjadi kepadamu Yui, aku takkan bisa menadah banyak air hujan ditanganku, tapi aku bisa menahanmu bersamaku di dunia ini dengan kedua tanganku,” mata Deril berkaca-kaca.
“Ih kamu cengeng, masa nangis,” kata Yui menghapuskan air matanya.
“Aku sayang kamu sahabatku,” Deril mulai tersentuh hatinya.
“Jika malam ini aku berakhir di sini, ingatlah aku sebagai hujan yang bisa menenangkan dan membuat perasaanmu bahagia, tapi aku rasa aku sudah sampai di sini,” kata Yui
“Jangan bilang seperti itu, kita akan masih bersama-sama, sampai kita lulus SMA,” kata Deril
Mata
Yui perlahan-lahan mulai tertutup, dengan sebuah senyuman manis terakhir
diwajahnya. Deril menangis dan terus memanggil nama Yui, Deril juga memanggil
suster dan membangunkan kedua orang tua Yui. Ayah dan Ibunya Yui, serta Deril
telah kehilangan seseorang yang berharga. Sampai akhir hayatnya, Yui tetap
menjadi hujan yang menyenangkan bagi Deril, teman-temannya, serta kedua orang
tuanya.
(TAMAT)
Cerpen
Karangan: Gufran Algifari
Blog: http://gupe81.blogspot.com
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/hujan-itu-menyenangkan.htmlBlog: http://gupe81.blogspot.com
my opinions about this short story is the friendship and the memories that are
both fun, friends pobud there when we happy or sad, friends do not look at whether
we are rich or poor, friend can understand and accept our circumstances, and that's
true friend. Memories is a memory that we can not forget just like that, a lot
of events that are skipped, happy or sad events, memories pobud remind us in
times beautiful. And it will continue to pobud remembered in the hearts and minds.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar