Mata Sayu
Itu Bercerita
Mata sayu itu
banyak bercerita. Walau kami sekali pun belum pernah bertegur sapa, apalagi
berbincang-bincang bak kawan lama.
Ia selalu
duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di
dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu,
seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu.
Selalu seperti itu.
Awalnya,
kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang
jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di
café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga
tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa,
berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan
pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku.
Ia selalu
duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang
nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar
sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu
dia menunggu seseorang.
Ya, mungkin
saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis.
Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat
janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh.
Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka?
Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga
bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat
sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia.
Namun,
lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas
perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu
yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak
melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.
***
Mulanya, aku
tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan
begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar
cerita dari mata sayu itu.
Cerita
pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa
perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul
empat sampai enam petang.
Rupanya,
dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya
mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita.
Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu
itu.
Ketika aku
tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali
mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang,
seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan
sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu
itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan
yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana?
Bisa jadi.
Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum
kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang
yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan
seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap
petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta.
Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu.
Tentu
seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu
tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di
dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali
itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa
sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya
ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku
tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah
mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis.
Tapi, bukan
ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi
terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya?
Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka
dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan
jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi
tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu.
Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu
di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan
tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi?
Tentu ia lelaki yang sempurna.
Bukan pula!
Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali
ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta
dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.
Oh, kau suka
matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu
indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang
ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata
yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang
ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa,
mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu
mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata
itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar
ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi
membayangkan mata seseorang itu.
Apa matanya
seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat
menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang
sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat
aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu
perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari
matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya,
kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana
yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai
seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas.
Kini, barulah
kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu
seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah
menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki
mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu.
Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal
serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh
cerita itu kembali dan bercerita lagi.
Itulah
mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di
seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali
cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin
menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu
seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa
benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku
ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak
cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya.
***
Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di
bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban
petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali
bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya
petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti
petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari
pandanganku.
Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita?
Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu.
Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini
lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku.
Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia
menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak
pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin.
Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau
besoknya lagi.
Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita
banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk
memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di
meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar
sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan
sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali
semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut
akan cerita-ceritanya itu. (*)
/C59, ditulis dari pojok café yang sepi, Januari 2010.
my
opinions about this short story
is that love a
puzzle. Puzzle that
is difficult to guess by anyone,
want men and women.
Love is blind because
of it we often
do strange things
that sometimes do
not make sense. Wait it is very tedious
but not for
love, for those who love to feel the wait
was a beautiful thing. Moreover,
waiting for someone we love. Being faithful
is not easy but
with a lack of will certainly become easier
Tidak ada komentar:
Posting Komentar