Jumat, 14 Juni 2013

cerpen_Mosaik

Mosaik
Diam-diam, Che merobek selembar kertas dari buku Matematikanya. Diraihnya pensil kayu yang sedari tadi tergeletak diam di atas meja. Pensil itu di putar-putar di sela-sela jarinya. Seperti ada jiwa yang terbangun dari tidur panjang dalam pensil itu, perlahan-lahan namun mengalir, Che mulai menulis pada lembaran kertas tadi. Tulisannya ia awali dengan catatan harian seorang gadis bernama…
Sophie
Tentang hari ini, katamu, untuk satu moment yang hanya terulang sekali setahun, perlu ada perayaan.
Sebenarnya, ingin kukatakan kalau hidup ini terlalu singkat untuk dirayakan, sesingkat pijar lilin di atas kue ulang tahun. Perhatikanlah! Hanya dengan satu hembusan nafas, semuanya selesai. Singkat bukan? Lilin itu padam, di buang ke tempat sampah, hilang, dan tak akan di kenang lagi. Lantas, apa yang mau kita rayakan hari ini? Redup pijar hidupku? Suam-suam kuku kehangatanku? Diam lilin kehidupanku? Leleh jiwaku oleh pijarku sendiri? Apa? Tak ada bukan?
Kau tentu masih ingat kata-katamu sendiri, “….segala sesuatu mengalir dan tak ada yang terulang kembali. Seseorang tidak akan pernah turun dan menginjakkan kaki pada air sama meski ia lakukan pada sungai yang sama. Air sungai yang di sentuh sebelumnya telah berlalu, mengalir jauh ke hulu dan berubah.” Kau masih ingat ‘kan?
Kamu pasti pura-pura lupa.
“Dalam peredaran zaman,” katamu lagi, “hanya perubahanlah yang ada. Tak ada yang tetap dalam hidup ini selain perubahan.”
Aku hanya mengangguk meski tak begitu mengerti.
“Pokoknya hari ini mesti kita rayakan semeriah mungkin,” serumu begitu bersemangat.
“Di mana-mana,” tambahmu lagi, “orang merayakan hari ulang tahun.”
Aku hanya bisa tersenyum melihat dirimu begitu bersemangat merayakan ulang tahunku.
Al… kau sebenarnya tahu kalau waktu selalu mengalir; mengalir dari abadi sampai pada satu batas tanpa patok. Perhitungan detik, jam, hari, bulan, tahun, dan abad hanyalah bukti kelemahan manusia di hadapan sang waktu. Kau, aku, dia dan mereka tak lebih dari satu pijar lilin kecil, jika bukan sebuah titik kecil, di dalam guliran waktu yang abadi.
Tahun tidak berulang kembali Al… apa lagi waktu. Jadi, sebenarnya untuk apa perayaan ini?
Meski demikian, kuharap kau tak bersedih atau marah saat membaca catatan ini. ‘Coz, tonight still be unforgetable night.
Aku hanya ingin sedikit mempertanyakan ini semua. Bolehkan? Thanks untuk semua yang telah kuterima darimu selama ini, khususnya untuk malam ini. Walaupun tak seperti tahun lalu; tak ada biskuit seharga lima ribu rupiah yang kau susun bagai tart kecil; tak ada lilin bekas yang berpijar indah di tengahnya; dan… tak ada ciuman yang membuat wajahku merah padam, malam ini tetaplah menjadi malam yang indah. Sebab, ada kisah indah yang telah kita tulis bersama malam ini. Andaikan aksara ini bisa berteriak ‘kan kuteriakkan isi hatiku, agar dunia tahu yang sesungguhnya. Aku mencintaimu.
Oh… ya, terima kasih juga karena engkau telah mengingatkanku tentang hari istimewa ini, ulang tahunku yang ke-21. Semua itu istimewa. Namun, tahukah kau? Dirimu lebih istimewa dari semua itu.
27 Feb ‘13
S.
Ar dan Che
“Untuk apa ini?” Tanya Ar heran, ketika Che menyodorkan kepadanya sebuah pensil kayu, jelek dan penuh bekas gigitan di ujungnya.
“Aku sudah menulis bagianku. Sekarang giliranmu,” bisik Che sambil matanya tetap mengawasi gerak dan pandangan pak Proka, guru bertubuh gemuk dan berwajah sangar dengan kumis dan jambang yang liar. Suara pak Proka mengelegar, menjelaskan pelajaran yang sama sekali tidak diminati Ar dan Che. Matematika.
“Oh… menulis kisah bersama lagi? Boleh…. Tapi tak adakah pensil yang lebih bermartabat untuk Ar, sang maestro romantik klasik?” Ar enggan menerima pensil milik Che.
“Tulis saja… jangan banyak protes. Ini kertasnya. Judulnya ‘Mosaik’. Gadisnya bernama Sophie dan kekasihnya bernama Al,” bisik Che sambil tetap mengawasi gerak dan pandangan pak Proka. Aman.
“Huu…, simpan saja pensil jelekmu itu! Aku masih punya yang jauh lebih bermartabat. Setidaknya yang bukan sekaligus makanan ringan seperti punyamu.”
Sejenak Ar membaca hasil tulisan Che tentang catatan harian Sophie. Ar menerawang, mengetuk-ngetuk pensilnya di meja, kemudian mulai menulis lanjutan kisah tersebut. Tentang Al.
Al
Sophie… sudah kukatakan, mesti ada perayaan untuk tiap moment yang terjadi sekali setahun. Lihatlah, di mana-mana orang merayakan hari ulang tahun kelahiran, pacaran, pernikahan bahkan kematian. So…, ulang tahunmu pun mesti kita rayakan, tetapi bukan karena orang lain merayakan ulang tahun mereka. Kita punya alasan sendiri dan… tentu dengan cara kita sendiri. Spesial!
Maaf, jika malam ini tak ada candle light dinner, dan semua ritual perayaannya. Yang pertama, kau sendiri tahu bagaimana isi dompetku. Yang kedua, tentu kau setuju kalau makan malam dengan lilin bernyala, kini bukanlah pilihan yang romantis lagi. Picisan. Terlalu ‘biasa’. Untuk malam yang istimewa ini, ada cara yang lebih istimewa dari sekedar makan malam dengan lilin bernyala.
Ar dan Che
“Che…, apa kau telah merancang konsep perayaan ulang tahun dalam kisah ini?” Tanya Ar sambil pura-pura merenggangkan otot-otot, mengelabuhi pak Proka.
“Tidak ada,” bisik Che sambil meyusutkan tubuhnya. “Ingat, mengalir saja dalam kisahnya.”
Ar mengangguk-angguk mengerti. Tiba-tiba ia tersenyum, lalu mulai menulis lagi.
Al dan Sophie
Tak ada ritual meniup lilin, kue tart, candle light dinner atau bright adventurous dinner. Tak ada pinata seperti di Meksiko. Tak ada telur yang diwarnai merah menyala dan mi yang tidak dipotong-potong seperti di Cina.Tak ada bendera negara di jendela rumah seperti di Denmark. Tak ada dansa waltz seperti di Ekuador dan Argentina. Tak ada nasi tumpeng seperti di Jawa. Semuanya tak ada. Lagi, tak ada yang tahu kalau mereka berdua tengah merayakan ulang tahun Sophie. Yang ada hanya selembar kertas kosong dan sebuah pensil kayu tua, yang masih dipegang Al.
“Dengarkan,” Al berlagak seperti seorang guru berbicara kepada murid. “Orang Latin bilang: ‘Fortuna Dies Natalis!’ Orang Spanyol bilang: ‘Feliz Cumplea-os!’ Orang Portugal bilang: ‘Parabens!’ Di Jerman orang bilang: ‘Alles Gute zum Geburstag!’ Em…, di Paris orang bilang: ‘Joyeux Anniversaire!’ Jika ingin di-mandarin-kan akan menjadi: ‘Qu Ni Shen Er Kuai Le!’ Kalau Socrates cs di Yunani bilang…: ‘Chronia Pola!’, Nenekku bilang: ‘Happy Birthday!!!’”
“Oh, ya…?” Shopie berusaha bersikap dingin, walau sebenarnya tengah menahan tawa. “Apa masih ada yang lain?”
“Em…,’ Al salah tingkah. Leluconnya ditanggapi Sophie datar-datar saja. Ia hampir kehilangan ide.
“Masih. Masih ada. Em…, Upin-Ipin bilang: Celamat Hali Jadiii!”
Tawa keduanya tak terbendung.
Ar dan Che
Sedetik saja pak Proka lengah, secepat kilat Ar mengembalikan lembaran kisah ‘Mosaik’ kepada Che.
“Giliranmu! Ideku sudah buntu!” Ar kehabisan ide.
“Tapi, pakai pensilmu sendiri,” tambah Ar, yang kemudian salah tingkah ketika sadar ia tengah dipelototi pak Proka. Che bertingkah seolah tidak terlibat dengan apa yang dilakukan Ar. Che masih menggigit-gigit ujung pensilnya.
Sedetik sebelum mulai menulis, Che menyempatkan diri melirik ke arah Ar. Ar langsung membalas lirikannya dengan tatapan menuduh. Che tersenyum menang, lalu mulai menulis lagi.
Al dan Sophie
“Hari ini tanggal 27, bulan Februari, tahun 2013. Kita rayakan ulang tahunmu yang ke 21. Kau tahu? Aku punya ide istimewa untuk perayaan ulang tahunmu di tahun yang sempat diramalkan tidak ada ini,” Al bersemangat.
“Oh, ya…?” tanya Sophie tanpa apresiasi untuk semangat Al. “Setahuku, kau selalu punya ide ‘istimewa’, yang jika boleh kusebut aneh, untuk setiap perayaan ulang tahunku. Kira-kira apa idemu tahun ini?” Sophie menanti jawaban.
“Untuk tahun ini, dijamin brilian. Inilah perayaan ulang tahun yang belum pernah diramalkan sebelumnya,” Al semakin percaya diri.
“Aku ingin kita bersama-sama, bergantian menuliskan sebuah kisah tentang perayaan kita malam ini. Aku menulis sepenggal, kemudian kamu sepenggal, lalu aku lagi. Kamu menulis lagi, kemudian aku lagi, lalu kamu lagi, setelah itu aku lagi. Terus dan terus begitu hingga tercipta sebuah kisah. Bagaimana?” Al mengangkat alis, bangga.
“Kisah yang kita tulis bersama? Em…, kedengarannya menarik. OK. Kita coba bersama,” Shopie tampak sungguh tertarik dengan ide Al.
“OK. Begini,” rupanya Al masih mempunyai ide. “Bagaimana kalau kita bercerita tentang orang lain, yang bercerita tentang perayaan kita malam ini?”
“Kita… bercerita… tentang orang lain… yang bercerita… tentang… perayaan kita malam ini.” Sophie berusaha mengerti ide Al.
“Apa itu akan menjadi sebuah lingkaran cerita?”
“You get it!”
“OK. Aku setuju!” Shopie semakin bersemangat.
“Em…” Sophie menggigit bibirnya sambil berpikir.
“Bagaimana kalau tentang dua orang sahabat?”
“Kenapa tidak?” Al semakin bersemangat.
“OK. Kalau begitu tunggu apa lagi? Let’s move! Tetapi, karena hari ini hari spesialku, maka akulah yang duluan menulis!”
Tanpa banyak kata, Sophie meraih kertas dan pensil dari tangan Al. Sejenak ia menerawang, tersenyum sendiri, kemudian dalam diam, mulai menulis tentang dua orang sahabat. Salah satu tokoh dalam kisah itu ia beri nama Che. Judul kisah mereka….
MOSAIK
Cerpen Karangan: Oan Wutun


my opinions about this short story is the story interesting, funny and inspiring. There are two stories that later became a story, the story of a strange but interesting. Where two lovers are celebrating his birthday in a different way.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar