Fakta Merupakan Dasar dalam
Penalaran Ilmiah
Berpikir itu sendiri merupakan kegiatan mental yang
berkaitan dengan pikiran kita sendiri. Pada saat kita berpikir maka terlintas
gambaran-gambaran mengenai sesuatu hal yang tidak tampak secara nyata. Kegiatan
ini tidak terkendali, terjadi dengan sendirinya, dan tanpa kita sadari.
Sedangkan kegiatan berpikir dilakukan secara sadar, tersusun, dan bertujuan
untuk sampai kepada suatu kesimpulan. Jenis kegiatan berpikir yang terakhir ini
yang disebut dengan kegiatan bernalar. Bernalar atau penalaran merupakan proses
berpikir sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Kegiatan
penalaran bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari proses penalaran dapat
dibedakan sebagai penalaran induktif dan deduktif. Agar dapat menalar dengan tepat,
perlu kita memiliki pengetahuan tentang fakta yang berhubungan. Jumlah fakta
tak terbatas, sifatnya beraneka ragam. Oleh sebab itu, sebagai unsur dasar
dalam penalaran ilmiah, kita harus mengetahui apa pengertian dari fakta.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fakta memiliki
definisi sebagai hal (keadaan atau peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu
yang benar-benar ada atau terjadi. Selain itu, fakta juga merupakan pengamatan
yang telah diverifikasi secara empiris (sesuai dengan bukti atau konsekuensi
yang teramati oleh indera). Fakta bila dikumpulkan secara sistematis dengan
beberapa sistem serta dilakukan secara sekuensial maka fakta tersebut mampu
melahirkan sebuah ilmu. Sebagai kunci bahwa fakta tidak akan memiliki arti
apa-apa tanpa sebuah teori dan fakta secara empiris dapat melahirkan sebuah
teori baru.
Untuk memahami hubungan antara fakta-fakta yang sangat
banyak itu, kita perlu mengenali fakta-fakta itu secara sendiri-sendiri. Ini
berarti bahwa kita harus mengetahui ciri-cirinya dengan baik. Dengan begitu,
kita dapat mengenali hubungan di antara fakta-fakta tersebut dengan melakukan
penelitian. Selain itu, kita dapat menggolong-golongkan sejumlah fakta
ke dalam bagian-bagian dengan jumlah anggota yang sama banyaknya. Proses
seperti itu disebut pembagian, namun pembagian di sini memiliki taraf yang
lebih tinggi dan disebut klasifikasi.
1. Klasifikasi
Membuat klasifikasi mengenai sejumlah fakta, berarti memasukkan atau menempatkan fakta-fakta ke dalam suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem. Suatu klasifikasi akan berhenti, tidak dapat diteruskan lagi jika sudah sampai kepada individu yang tidak dapat merupakan spesies atau dengan kata lain jenis individu tidak dapat diklasifikasikan lebih lanjut meskipun dapat dimasukkan ke dalam suatu spesies. Perlu diingat bahwa klasifikasi atau penggolongan (pengelompokkan) berbeda dengan pembagian. Pembagian lebih bersifat kuantitatif, tanpa suatu kriteria atau ciri penentu. Tetapi klasifikasi didasarkan terhadap ciri-ciri atau kriteria yang ada dari fakta-fakta yang diteliti.
Membuat klasifikasi mengenai sejumlah fakta, berarti memasukkan atau menempatkan fakta-fakta ke dalam suatu hubungan logis berdasarkan suatu sistem. Suatu klasifikasi akan berhenti, tidak dapat diteruskan lagi jika sudah sampai kepada individu yang tidak dapat merupakan spesies atau dengan kata lain jenis individu tidak dapat diklasifikasikan lebih lanjut meskipun dapat dimasukkan ke dalam suatu spesies. Perlu diingat bahwa klasifikasi atau penggolongan (pengelompokkan) berbeda dengan pembagian. Pembagian lebih bersifat kuantitatif, tanpa suatu kriteria atau ciri penentu. Tetapi klasifikasi didasarkan terhadap ciri-ciri atau kriteria yang ada dari fakta-fakta yang diteliti.
2. Jenis Klasifikasi
Klasifikasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
• Klasifikasi sederhana, suatu kelas hanya mempunyai dua kelas bawahan yang berciri positif dan negatif. Klasifikasi seperti itu disebut juga klasifikasi dikotomis (dichotomous classification dichotomy).
• Klasifikasi kompleks, suatu kelas mencakup lebih dari dua kelas bawahan. Dalam klasifikasi ini tidak boleh ada ciri negatif; artinya, suatu kelas tidak dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya suatu ciri.
Klasifikasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
• Klasifikasi sederhana, suatu kelas hanya mempunyai dua kelas bawahan yang berciri positif dan negatif. Klasifikasi seperti itu disebut juga klasifikasi dikotomis (dichotomous classification dichotomy).
• Klasifikasi kompleks, suatu kelas mencakup lebih dari dua kelas bawahan. Dalam klasifikasi ini tidak boleh ada ciri negatif; artinya, suatu kelas tidak dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya suatu ciri.
3. Persyaratan Klasifikasi
Klasifikasi harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa persyaratan:
• Prinsipnya harus jelas. Prinsip ini merupakan dasar atau patokan untuk membuat klasifikasi, berupa ciri yang menonjol yang dapat mencakup semua fakta atau benda (gejala) yang diklasifikasikan.
• Klasifikasi harus logic dan ajek (konsisten). Artinya, prinsip-prinsip itu harus diterapkan secara menyeluruh kepada kelas bawahannya.
• Klasifikasi harus bersikap lengkap, menyeluruh. Artinya, dasar pengelompokkan yang dipergunakan harus dikenakan kepada semua anggota kelompok tanpa kecuali.
Klasifikasi harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa persyaratan:
• Prinsipnya harus jelas. Prinsip ini merupakan dasar atau patokan untuk membuat klasifikasi, berupa ciri yang menonjol yang dapat mencakup semua fakta atau benda (gejala) yang diklasifikasikan.
• Klasifikasi harus logic dan ajek (konsisten). Artinya, prinsip-prinsip itu harus diterapkan secara menyeluruh kepada kelas bawahannya.
• Klasifikasi harus bersikap lengkap, menyeluruh. Artinya, dasar pengelompokkan yang dipergunakan harus dikenakan kepada semua anggota kelompok tanpa kecuali.
Selain itu dalam aspek fakta agar dapat membuat kesimpulan
yang sah tentang sifat golongan tertentu yang berdasarkan satu atau beberapa
yang diamati, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai klasifikasi –
yang sudah dijelaskan sebelumnya –, generalisasi dan spesifikasi, analogi, dan hubungan
sebab-akibat.
a) Generalisasi dan Spesifikasi, Dari
sejumlah fakta atau gejala yang diamati ditarik kesimpulan umum tentang
sebagian atau seluruh gejala yang diamati itu. Proses penarikan kesimpulan yang
dilakukan dengan cara itu disebut generalisasi. Jadi, generalisasi adalah
pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang
diamati. Karena itu suatu generalisasi mencakup ciri-ciri esensial atau yang
menonjol, bukan rincian. Di dalam pengembangan karangan, generalisasi perlu
dibuktikan dengan fakta yang merupakan spesifikasi atau ciri khusus sebagai
penjelasan lebih lanjut.
Ungkapan yang biasa digunakan dalam generalisasi adalah:
biasanya, pada umumnya, sebagian besar, semua, setiap, tidak pernah, dan
sebagainya. Dan ungkapan yang digunakan dalam penunjang generalisasi adalah:
misalnya, sebagai contoh, untuk menjelaskan hal itu, sebagai bukti, dan
sebagainya.
Fakta-fakta penunjang harus relevan dengan generalisasi yang
dikemukakan. Suatu paragraf dalam tulisan yang mencamtumkan penunjang yang
tidak relevan dipandang tidak logis. Dan generalisasi mungkin mengemukakan
fakta (disebut generalisasi faktual) atau pendapat (opini).
b) Analogi, persamaan antar bentuk yang
menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain atau membandingkan sesuatu
dengan lainnya berdasarkan atas persamaan yang terdapat di antara keduanya.
Analogi terdiri dari dua macam, pertama analogi penjelas
(deklaratif) yaitu perbandingan untuk menjelaskan sesuatu yang baru berdasarkan
persamaannya dengan sesuatu yang telah dikenal, tetapi hasilnya tidak
memberikan kesimpulan atau pengetahuan yang baru, kedua analogi induktif yaitu
suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan (referensi) tentang kebenaran
suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran suatu gejala khusus lain yang
memiliki sifat-sifat esensial penting yang bersamaan. Jadi, dalam analogi
induktif yang perlu diperhatikan adalah persamaan yang dipakai merupakan
ciri-ciri esensial penting yang berhubungan erat dengan kesimpulan yang
dikemukakan.
c) Hubungan Sebab Akibat, hubungan
ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab-akibat,
akibat-sebab, dan akibat-akibat.
• Penalaran sebab-akibat dimulai dengan pengamatan terhadap suatu sebab yang diketahui.
• Penalaran akibat-sebab dimulai dari suatu akibat yang diketahui.
• Penalaran akibat-akibat berpangkal dari suatu akibat dan berdasarkan akibat tersebut dan langsung dipikirkan akibat lain tanpa memikirkan sebab umum yang menimbulkan kedua akibat itu.
• Penalaran sebab-akibat dimulai dengan pengamatan terhadap suatu sebab yang diketahui.
• Penalaran akibat-sebab dimulai dari suatu akibat yang diketahui.
• Penalaran akibat-akibat berpangkal dari suatu akibat dan berdasarkan akibat tersebut dan langsung dipikirkan akibat lain tanpa memikirkan sebab umum yang menimbulkan kedua akibat itu.
d) Salah Nalar
Kesalahan yang berhubungan dengan proses penalaran disebut
sebagai salah nalar. Ada dua jenis kesalahan menurut penyebabnya, yaitu
kesalahan karena bahasa yang merupakan kesalahan informal dan kesalahan karena
materi dan proses penalarannya yang merupakan kesalahan formal.
Kesalahan Informal
Kesalahan
informal biasanya dikelompokkan sebagai kesalahan relevansi. Kesalahan ini
terjadi apabila premis-premis tidak mempunyai hubungan logis dengan kesimpulan.
Yang termasuk ke dalam jenis kesalahan ini adalah:
• Argumentum ad Hominem, kesalahan itu berarti “argumentasi ditujukan kepada diri orang”. Artinya, kesalahan itu terjadi bila seseorang mengambil keputusan atau kesimpulan tidak berdasarkan penalaran melainkan untuk kepentingan dirinya, dengan mengemukakan alasan yang tidak logis.
• Argumentum ad Baculum, kesalahan yang terjadi apabila suatu keputusan diterima atau ditolak karena adanya ancaman hukuman atau tindak kekerasan.
• Argumentum ad Verucundiam atau Argumentum Adictoritatis, kesalahan yang terjadi apabila seseorang menerima pendapat atau keputusan dengan alasan penalaran melainkan karena yang menyatukan pendapat atau keputusan itu adalah yang memiliki kekuasaan.
• Argumentum ad Populum, kesalahan itu berarti “argumentasi ditujukan kepada rakyat”. Artinya, argumentasi yang dikemukakan tidak mementingkan kelogisan; yang penting agar orang banyak tergugah. Hal ini sering dilakukan dalam propaganda.
• Argumentum ad Misericordiam, argumentasi dikemukakan untuk membangkitkan belas kasihan.
• Kesalahan Non-Causa Pro-Causa, kesalahan ini terjadi jika seseorang mengemukakan suatu sebab yang sebenarnya merupakan sebab atau bukan sebab yang lengkap.
• Kesalahan Aksidensi, kesalahan terjadi akibat penerapan prinsip umum terhadap keadaan yang bersifat aksidental, yaitu suatu keadaan atau kondisi kebetulan, yang tidak seharusnya, atau mutlak yang tidak cocok.
• Petitio Principii, kesalahan ini terjadi jika argumen yang diberikan telah tercantum di dalam premisnya. Kadang-kadang petitio principii ini berwujud sebagai argumentasi berlingkar: A disebabkan B, B disebabkan C, C disebabkan D, D dan D disebabkan A.
• Kesalahan Komposisi dan Divisi, kesalahan komposisi terjadi jika menerapkan predikat individu kepada kelompoknya sementara kesalahan divisi terjadi jika predikat yang benar bagi kelompok dikenakan kepada individu anggotanya.
• Kesalahan karena Pertanyaan yang Kompleks, pertanyaan yang dimaksud ini bukan dinyatakan dengan kalimat kompleks saja, namun yang dapat menimbulkan banyak jawaban.
• Non Secuitur (Kesalahan Konsekuen), kesalahan ini terjadi jika dalam suatu proposisi kondisional terjadi pertukaran anteseden dan konsekuen.
• Ignoratio Elenchi, kesalahan ini sama atau sejenis dengan argumentum ad Hominem, ad Verucundiam, ad Baculum, dan ad Populum yaitu tidak ada relevansi antara premis dan kesimpulannya.
• Argumentum ad Hominem, kesalahan itu berarti “argumentasi ditujukan kepada diri orang”. Artinya, kesalahan itu terjadi bila seseorang mengambil keputusan atau kesimpulan tidak berdasarkan penalaran melainkan untuk kepentingan dirinya, dengan mengemukakan alasan yang tidak logis.
• Argumentum ad Baculum, kesalahan yang terjadi apabila suatu keputusan diterima atau ditolak karena adanya ancaman hukuman atau tindak kekerasan.
• Argumentum ad Verucundiam atau Argumentum Adictoritatis, kesalahan yang terjadi apabila seseorang menerima pendapat atau keputusan dengan alasan penalaran melainkan karena yang menyatukan pendapat atau keputusan itu adalah yang memiliki kekuasaan.
• Argumentum ad Populum, kesalahan itu berarti “argumentasi ditujukan kepada rakyat”. Artinya, argumentasi yang dikemukakan tidak mementingkan kelogisan; yang penting agar orang banyak tergugah. Hal ini sering dilakukan dalam propaganda.
• Argumentum ad Misericordiam, argumentasi dikemukakan untuk membangkitkan belas kasihan.
• Kesalahan Non-Causa Pro-Causa, kesalahan ini terjadi jika seseorang mengemukakan suatu sebab yang sebenarnya merupakan sebab atau bukan sebab yang lengkap.
• Kesalahan Aksidensi, kesalahan terjadi akibat penerapan prinsip umum terhadap keadaan yang bersifat aksidental, yaitu suatu keadaan atau kondisi kebetulan, yang tidak seharusnya, atau mutlak yang tidak cocok.
• Petitio Principii, kesalahan ini terjadi jika argumen yang diberikan telah tercantum di dalam premisnya. Kadang-kadang petitio principii ini berwujud sebagai argumentasi berlingkar: A disebabkan B, B disebabkan C, C disebabkan D, D dan D disebabkan A.
• Kesalahan Komposisi dan Divisi, kesalahan komposisi terjadi jika menerapkan predikat individu kepada kelompoknya sementara kesalahan divisi terjadi jika predikat yang benar bagi kelompok dikenakan kepada individu anggotanya.
• Kesalahan karena Pertanyaan yang Kompleks, pertanyaan yang dimaksud ini bukan dinyatakan dengan kalimat kompleks saja, namun yang dapat menimbulkan banyak jawaban.
• Non Secuitur (Kesalahan Konsekuen), kesalahan ini terjadi jika dalam suatu proposisi kondisional terjadi pertukaran anteseden dan konsekuen.
• Ignoratio Elenchi, kesalahan ini sama atau sejenis dengan argumentum ad Hominem, ad Verucundiam, ad Baculum, dan ad Populum yaitu tidak ada relevansi antara premis dan kesimpulannya.
Kesalahan Formal
Kesalahan
ini berhubungan erat dengan materi dan proses penarikan kesimpulan baik
deduktif maupun induktif.
1). Kesalahan Induktif
Kesalahan induktif terjadi sehubungan dengan proses induktif. Kesalahan ini terjadi karena:
• Generalisasi yang terlalu luas.
• Hubungan sebab akibat yang tidak memadai.
• Kesalahan analogi. Kesalahan ini terjadi bila dasar analogi induktif yang dipakai tidak merupakan ciri esensial kesimpulan yang ditarik.
1). Kesalahan Induktif
Kesalahan induktif terjadi sehubungan dengan proses induktif. Kesalahan ini terjadi karena:
• Generalisasi yang terlalu luas.
• Hubungan sebab akibat yang tidak memadai.
• Kesalahan analogi. Kesalahan ini terjadi bila dasar analogi induktif yang dipakai tidak merupakan ciri esensial kesimpulan yang ditarik.
2).
Kesalahan Deduktif
• Dalam cara berpikir deduktif kesalahan yang biasa terjadi adalah kesalahan premis mayor yang tidak dibatasi.
• Kesalahan term keempat. Dalam hal ini term tengah dalam premis minor tidak merupakan bagian dari term mayor pada premis mayor atau memang tidak ada hubungan antara kedua pernyataan.
• Kesimpulan terlalu luas atau kesimpulan lebih luas dari pada premisnya.
• Kesalahan kesimpulan dari premis-premis negatif.
• Dalam cara berpikir deduktif kesalahan yang biasa terjadi adalah kesalahan premis mayor yang tidak dibatasi.
• Kesalahan term keempat. Dalam hal ini term tengah dalam premis minor tidak merupakan bagian dari term mayor pada premis mayor atau memang tidak ada hubungan antara kedua pernyataan.
• Kesimpulan terlalu luas atau kesimpulan lebih luas dari pada premisnya.
• Kesalahan kesimpulan dari premis-premis negatif.
Daftar Pustaka
:
http://panduabbi.blogspot.com/2015/03/fakta-sebagai-unsur-dalam-penalaran.html
https://yanwariyanidwi.wordpress.com/2015/03/27/fakta-sebagai-unsur-dalam-penalaran-ilmiah/
https://yanwariyanidwi.wordpress.com/2015/03/27/fakta-sebagai-unsur-dalam-penalaran-ilmiah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar