Sabtu, 15 Juni 2013

CERPEN_MENUNGGU

MENUNGGU

Karya Indah Pradnyani

Kau lirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirimu dengan perasaan campur aduk. Kesal, bingung, gelisah. Kau perhatikan keadaan sekelilingmu. Sudah sepi. Kau bahkan lupa sudah berapa lama kau duduk terdiam seperti itu. Kau ingin segera beranjak pergi, kalau saja kau tidak ingat janjimu untuk menunggu.

Kaudengar derap langkah mendekat dan kaupalingkan wajahmu menuju sumber suara. Kaulihat dia, berdiri membungkuk sambil menopangkan kedua tangan di lututnya. Napasnya memburu, kau langsung tahu bahwa dia baru saja berlari.
„Ma, maaf aku terlambat!“ Susah payah dia mengucapkan kata-kata itu. Tampak olehmu butiran peluh yang meleleh di sisi kiri dan kanan wajahnya—tanda bahwa dia sangat lelah. Secara keseluruhan, jelas bahwa sosoknya saat itu terlihat menyedihkan. Namun kau terlalu kesal untuk bersimpati. Kau beranjak bangun dari posisi dudukmu dan berkata dengan nada sedingin es, „Cepatlah, aku mau pulang.“

Lewat ekor matamu, kaulihat dia menatapmu dengan sedih. Dia seka peluhnya dengan tangan, lalu mulai berjalan mendekatimu yang telah mendahuluinya.
„Sudah berapa lama kau menunggu?“ Tanyanya.
„Terlalu lama sampai-sampai aku lupa berapa lama persisnya.“
„Oh... Maafkan aku. Banyak hal yang harus aku selesaikan tadi...“
„Aku tahu.“
Hening. Hanya langkah kaki kalian yang terdengar. Kau tenggelam dalam kekesalanmu sementara ia tenggelam dalam penyesalannya. Kalau saja ini bukan hari terakhir kalian bertemu, kau pasti sudah menolak mentah-mentah untuk menungguinya. Berpisah selama seminggu bukanlah waktu yang singkat. Sudah bisa kaubayangkan bagaimana sepinya harimu tanpa dirinya.

Tak terasa kalian berdua sudah sampai di depan pintu rumahmu. Beginilah rutinitas kalian—kau menungguinya pulang dari kegiatan klub, kemudian dia akan mengantarmu pulang. Kau masih terlalu kesal untuk berbicara padanya, karena itu kau langsung menghambur masuk ke pekarangah rumah. Namun dia lebih cepat. Dicekalnya lenganmu, membuatmu mau tak mau membalikkan badan dan menatap wajahnya.
„Aku akan berangkat besok. Ingatkah kau?“ Tanyanya lirih. Mungkin cuma perasaanmu saja, tapi kaulihat sepasang matanya tengah berkaca-kaca.
„Tak mungkin kulupakan.“ Jawabmu ketus.

Dia longgarkan cekalan tangannya, lalu ganti menggenggam lembut tanganmu.
„Aku tahu kau masih marah padaku. Tapi kumohon, doakanlah aku. Tanpa itu, aku tak akan berhasil.“ Pintanya.

Kau menelan ludah. Hati kecilmu merasa iba, tapi egomu terasa lebih nyata. Rasa pedih di dadamu akibat merasa diabaikan kembali menyerang. Kau kembali teringat bagaimana sepinya tadi saat kau sedang menungguinya. Teringat entah berapa janji bertemu yang kalian batalkan, hanya karena dia sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan klubnya. Juga belasan panggilan tak terjawab dan pesan singkat tak terbalas yang kau alamatkan pada nomor ponselnya.
„Akan kudoakan sebelum tidur nanti.“

Mendengar itu, dia tersenyum. Dia mendekat, lalu dikecupnya keningmu dengan lembut, seperti yang biasa dilakukannya.
„Tunggu aku, ya. Aku akan sangat merindukanmu.“
Kau mendesah. Lagi-lagi dia memintamu menunggu.
***

Kau tak pernah merasa terguncang ini sebelumnya.
Pertama kali diberitahu lewat telepon, kau hanya terpaku, sementara temanmu menangis tersedu-sedu. Kau tak bisa memercayai pendengaranmu sendiri. Tak mungkin, tak mungkin dia mengalami hal seburuk itu. Sudah sering dia bepergian untuk hal semacam ini, dan selalu pulang kembali dengan selamat. Dia akan memelukmu begitu kalian bertemu, dan kemudian menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat...

Namun kini, kau hanya bisa melihatnya berbaring tak berdaya. Selang dan kabel-kabel entah apa saling menyilang, seolah memperumit keadaan. Monitor di sampingnya tidak banyak membantu, hanya mengeluarkan bunyi pelan sembari menampilkan gambaran serupa bukit bergerigi. Itukah yang disebut elektrokardiogram? Atau elektrokardiograf? Kau berusaha mengingat-ingat apa yang pernah dikatakannya tempo hari mengenai benda itu, tapi tak mampu. Yang kauingat hanyalah sikap egoismu sehari sebelum keberangkatannya, serta kealpaanmu untuk mendoakan keselamatan dan keberhasilan untuknya.
Oh Tuhan, apa yang telah kulakukan?

Kau teringat peluhnya yang menetes kala ia berlari menghampirimu hari itu. Kini, airmatamulah yang menetes tak henti-henti. Teringat pada genggaman lembut tangannya saat dia memintamu mendoakannya. Kini, tangan itu hanya mampu tergolek lemah di sisi tubuhnya.
„Maafkan aku, maafkan aku.“ Tangismu.

Seolah mampu mendengar ratapanmu, tangan lemah itu bergerak pelan. Diikuti kedua matanya yang perlahan membuka. Mata kalian saling bertatapan.
„Kau... menangis?“

Tangan itu menyentuh pelan sisi wajahmu, lalu mengusap airmata yang meleleh. Susah payah dia tersenyum.
„Aku... sudah menunggumu.“
Kau terkesiap. Sesuatu, entah apa, telah membuka mata hatimu. Selama ini bukan dirimulah yang menunggu, melainkan dirinya. Kau memang menungguinya pulang dari kegiatan klub selama berjam-jam, tetapi dia sudah menunggu hampir berbulan-bulan akan datangnya perhatian dan pengertian dari dirimu. Baru sekarang kau ingat, tak pernah sekalipun kau menyemangatinya, memastikan dirinya makan dengan teratur, atau bahkan sekedar menyeka peluhnya yang menetes kala rasa lelah seusai belajar menyergap dirinya. Tak pernah ingat kau berdoa untuk kesuksesannya, kala ia tengah berjuang demi masa depannya. Namun begitu, dia tak pernah mengeluh padamu. Justru kaulah yang selalu bersikap egois dan bertingkah konyol. Dan yang kau dapat adalah senyuman manis dan sebuah kecupan di kening.

Tangismu meledak. Kau genggam tangannya erat-erat seolah tak sudi melepaskannya.
„Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan menunggu sampai kapanpun.“
„Aku tahu.“



My opinion on this short story is a very touching short story, waiting is not fun, but behind the patience to wait look how great that is where self-compassion to the people we love.

PUISI_PELITA MALAM

PELITA MALAM

Oleh Muhammad Arby HariAwan

Senja malam telah menyapa
Sang Mentari telah keperaduannya
Bergelayutan ditengah Cakrawala
Menyapa setiap dunia

Kemilau lembut
Menyentuh embun malam
Tak letihnya bersinar
Bertarung dengan
kegelapan malam

Engkaulah Pelipur Tara
Dikala daku menderita
Kau sapa daku oleh
Kemilaumu indahmu

Kau sejukkan hati gundah ini
Kau hapus air mata ini
Kupersembahkan puisi ini
untukmu
Wahai Penyinar Malam



My opinion on the above poem is someone who is in love, who want to express their feelings through poetry that has been made. And in this poem express how much he loves the person he loves.

PUISI-ANTARA TUHAN DAN CINTA

ANTARA TUHAN DAN CINTA

Oleh Suciyati Subowo

Inilah kisah tentang seorang gadis pecundang…
Dia memaksa hatinya untuk memilih..
Antara Tuhan dan cinta..
Tapi dia tidak mendapatkan apa – apa..
Tidah kasih sayang Tuhan,,
Tidak pula cinta kekasihnya..
Dia lebih memilih tu’ mengakhiri hidupnya…
Ta’ sanggup dia menahan perihnya luka..
Hatinya telah mati..
Jiwanya pun pergi..
Dia telah kehilangan arah hidupnya..

Kini….
Gadis itu terdiam dalam kebisuan..
Memandang kosong sebotol racun..
Seandainya sebotol racun adalah surga..
Dia berharap dapat bertemu kekasihnya disana..

Dan dia beranjak dari diam..
Membasuh segala gelisah dengan wudhu…
Kemudian menangis seirama ayat Tuhan…
Kembali dia basahi hatinya…
Dia terbaring diatas sajadah…
Menggenggam sebotol racun…

Tapi dia hanya pecundang…
Dia terus menangis..
Berusaha menguras semua airmata..
Membiarkan wajahnya membengkak..
Dan menutup matanya..

Dia berharap hilang ingatan.
Biarkan sisa hidupnya untuk bertanya..
Siapa dirinya..
Ta’ ingin mengenal kekasihnya..
Dan untuk kembali mengenal Tuhannya…



My opinion of this poem is love is not everything, but God is everything because the Lord who created all the content that exists on earth. Do not give up too quickly because it is a sign of desperate people who can not afford.

PUISI_BERSAMAMU IBU

BERSAMAMU IBU

Oleh Bethesda Laura

Lupakah aku mengucapkan kata maaf
atau sekedar kata 'Terimakasih'
untuk mu Ibu
yang menemani ku selama ini

Tak terhitung hari dilewati bersama
dengan banyaknya permohonan yang didoakan
dan mimpi mimpi tuk diwujudkan
bersama..

Ibu..
Saat ku coba berbuat hal baik padamu
saat itu juga engkau buat hal terbaik terhadapku..
Saat ku coba meringankan langkahmu
saat itu juga kau buat langkahku lebih ringan bersamamu

dan dengan demikian
akupun akan selalu berusaha
memberi yang terbaik pada mu
agar doa doamu menyertaiku

Dan pada hari esok yang kau lalui
ku harap kau menyambut indahnyaa hadirku
meski itu yang terakhir buat mu



my opinion about this poem is the figure of the mother is very special because she is a strong woman and a great guy. She never complained and pobud looks cheerful despite a lot of the burden that he kept. All the services that we did not quite reciprocate all maternal services. Mother is a special person for me.

PUISI_AIR MATA UNTUK SAHABAT

AIR MATA UNTUK SAHABAT

Oleh Lula Nurul Asiyah

Sahabatku......., , , ,....
Mungkin engkau takkan pernah melihat tetesan air mata ini
Tetapi sahabat aku takkan pernah menghentikan hanya untukmu
Mungkin kau takkan pernah mendengar jeritan tangisan ini
Tetapi taulah sahabat aku kan terus melakukannya untukmu

Sahabat......... , , , ,.....
Ingatkah kau saat pertama kali kita berjumpa
Senyuman manismu takkan pernah terhapus dari ingatanku
Ingatkah saat kita tersenyum dan menangis bersama
Semuanya akan selalu teringat dalam hatiku
Dan ingatkah sahabat saat-saat terakhir ku melihatmu
Air mata yang mengalir adalah air mata terindah yang pernah
ku lihat

Dan sahabat..... , , , , ......
Walaupun kini kau telah jauh dari angan-anganku
Tetapi ku yakin kau pasti akan bahagia di sana
Karna ku tau bahagiamu tak bersamaku . . . . . . . .



my opinion about this poem is that pobud friend is someone there when we are happy or sad, a friend who can see and understand what is going on inside this. And separation is not the end of all life as far as it will go for sure our friends will meet again someday. And a memory will not be lost, especially to all friends.

PUISI_MALAIKAT HATIKU

MALAIKAT HATIKU

Oleh Siti Marlina hrp

Taburan kasih , kau tebar setiap detik..
Benih sayang kau tanam sepanjang hari..
Kau pupuk segalanya dengan cucuran keringat mu..
tumbuhan yang selalu kau lindungi 
Agar tetap bertahan hidup....
melawan kemarau , meski pancaroba sekalipun…

Selalu tegar menutupi luka mu. …
Selalu terlihat tenang , meski masalah melilit batin mu.. 
Selalu tampak garang , meski disudut hati mu kau sosok yang penyayang.. 
Siapa diri mu sebenarnya ?? 
Salahkah aku mengagumi mu ? 

Mulia.. 
Satu makna kata yang bisa ku beri pada mu.. 
Hati mu begitu putih.. 
Malaikat dunia yang ku miliki.. 
Malaikat hatiku yang selalu ku idolakan…

Ayah… 
Aku menyayangi mu.. .
Jangan pernah lepas genggaman mu …. 
tetaplah bersama ku ..
sampai aku bisa menjadi orang kedua seperti mu.



My opinion in this poem is the sacrifice of a great father to his children and family. The father is willing to work hard for the survival of his family. Father did panats become an idol and my dad is an angel who pobud provide great motivation in my life.

PUISI_DOA BINTANG KEPADA BUNGA

DOA BINTANG KEPADA BUNGA
Oleh Nata

Aku hanya satu bintang yang menemanimu
Aku hanya setitik cahaya yang menerangimu
Aku tau cahaya ku tak mampu tuk menerangi seluruh ruang gelapmu

Aku hanya ingin menjadi bintang terbaikmu
Cahaya ku tak secemerlang sinar mentari
Cahaya ku tak seterang siang hari
Tapi doa ku melebihi besarnya matahari

Harapanku tak pernah sirna walau hari berganti hari
Hanya satu doa ku padamu,aku ingin kau bahagia
Di antara berjuta cahaya di alam ini
Kau pasti akan menemukan yang terbaik

Kelak suatu hari cahaya ku akan redup
Kelak suatu hari cahaya ku akan hilang
Kan datang hari dimana mentari mengalahkan ku

Tapi doa ku padamu bunga akan selalu hidup
Selalu ada untuk dirimu sebagai pengganti cahaya ku
Yang hilang di telan waktu



my opinion about this poem is the limit of the ability to have a star shining eyes and can be changed by the day but the light will pobud be memorable and that in later and it became a like if someone wants to keep the people he loves, but time may separate, but all his actions will be become a distant memory.

Jumat, 14 Juni 2013

cerpen_malaikat jalanan

Malaikat Jalanan
Kebaya lusuh menghias di tubuhnya, usianya mungkin tak muda lagi, keriput di wajah dan tubuhnya menapakan jejak-jejak yang telah hilang karena waktu. mangkok beling di tangannya, menyisir setiap rumah untuk mengais sedekah, beberapa orang tak mengusik kehadirannya, mengangapnya tak ada kala ia meminta. “Tuan, minta sedekahnya? Katanya penuh iba, meski orang yang di maksud tetap melanjutkan aktivitasnya, sibuk dengan pelanggan yang hilir mudik di tokonya, lama menanti dan menunggu tak ada respon, sekedar basa basi pun tidak”
Hidup memang tak adil bagaimana di usianya yang renta oleh waktu dirinya tak di perhatikan, setiap hari ia termenung dalam lamunan, menyalahkan waktu yang tak berpihak, semua sudah terjadi dan terlambat baginya untuk menyesali kehidupan dulu.
Nama mpo Kirun, usianya mungkin sekitar 85 tahun. Tak habis pikir di benaknya saat masa terhebat dalam hidupnya kini tinggal kenangan, seperti pagi menunggu malam dan malam menunggu pagi. mpo Kirun tetap beraktivitas dengan pekerjaannya, yang kadang sebagian orang di anggap hina, menengadahkan tangan kosong pada setiap ruko, toko atau warung kecil yang di temuinya, hasilnya untuk ia makan dan sebagian besarnya untuk ia sumbangkan pada sahabat-sahabatnya di “PANTI JOMPO WELAS ASIH”. Dulu Mpo Kirun adalah salah satu penghuni di sana, namun karna alasan prinsip ia memilin menjadi gelandangan, mencari secerca harapan pada kehidupan kota yang keras. bekerja tanpa putus asa.
Mpo Kirun duduk di halte sendiri tanpa teman atau sahabat, kesunyian terasa bergetar dalam hati kala rintik hujan mulai menampakan kengerian, sebuah dahan jatuh di sambar kilat, mpo Kirun mulai ketakutan kala beberapa Gerombolan anak jalanan mendatanginya dan tanpa izin, mengambil dan merampok hasil jerih payahnya hari ini. Ia menyesal dalam hatinya kenapa di jaman yang modern ini masih saja ada manusia yang berlaku demikian, tak peduli pada orang tua renta seperti dirinya.
Mpo kirun menangis sambil berjalan menyapu jalan-jalan yang kini mulai tergenang air hujan yang turun. Siapa yang peduli padanya?, ribuan kendaraan berlari di sekitarnya tanpa peduli akan dirinya, Mpo Kirun berjalan tanpa henti meski ada beberapa angkot sengaja berlari kencang dan menyipratkan air hujan padanya.
“apa! Jadi hasil hari ini di ambil gelandangan, makanya jangan jadi nenek-nenek, cuma bisanya nyusahin!. Seorang bapak berjenggot pengurus Panti sangat marah sambil mengunci gerbang Panti, tak peduli pada keadaan Mpo Kirun yang kelelahan di hari ini”
Terpaksa malam Ini Mpo kirun tak di Izinkan masuk oleh pengurus panti, ia terpaksa kembali ke jalan dengan Mangkok yang menjadi teman spesialnya, sambil terisak tangis menahan pedih di hati yang kini mulai meresap hingga tulang-tulangnya.
“pak izinkan aku tidur di teras sekalian menjaganya hingga pagi tiba. Mpo Kirun memohon pada kakek penghuni toko yang baru mau tutup.”
Kakek itu tak berkata sedikitpun, ia berdiri sejenak dan memandang Mpo Kirun dari ujung kaki Ke ujung Rambut.
“cepat pergi dari sini, kehadiranmu akan mengotori lantai toko ini! Kakek terlihat marah dan berlalu tanpa sudi menatap kembali Mpo kirun yang menggigil kedinginan karna hujan”
Mpo kirun melipat tangan, sambil menahan dingin yang kini merasuk tubuhnya, ia merasa sangat dingin, giginya bergetar hebat, ia bersender pada Kursi di dekat pohon tak jauh dari toko sambil sesekali bersin-bersin.
Kain kebaya tipis di tubuhnya, tak mampu mnghangatkan tubuhnya yang kedinginan.
Di keesokan harinya, Mpo Kirun terbangun karena wajahnya di siram oleh seember air.
“bangun nenek tua! Pasti kamu yang merampok dan membakar toko ku..! Kakek pemilik toko terlihat sangat marah sambil menunjuk tokonya yang kini tinggal puing kenangan.”
“ayo cepat mengaku!” seorang pria ikut angkat bicara, sepertinya ia karyawan di toko tersebut
“aku tak tau apa-apa tuan” Mpo Kirun mengiba dan meneteskan air matanya yang tak terbendung.
Tanpa perlawanan kakek dan karyawannya menyeret mpo Kirun, dalam waktu singkat kerumunan orang berdatangan untuk melihat apa yang terjadi.
Tanpa mengenal rasa kasihan kakek itu meraih balok dan memukul Mpo Kirun beberapa kali.
“Stop… stooop… stop. Aku tahu siapa pelaku yang membakar dan merampok tokomu!” Seorang wanita sekitar 25 tahun, melerai, tubuh mpo Kirun terlihat membiru di beberapa bagian,
Kake tua menjatuhkan kayunya, dan walau pada akhirnya pelaku di tangkap yang tak lain adalah Karyawannya sendiri, ia dendam karena gajinya yang minim dan tak di hargai menjadi alasan untuknya membakar toko majikanya.
Penyesalan tinggal lah penyesalan, di keesokan harinya, saat fajar menyingsing dan sinar-sinar menerpa bumi, mpo Kirun terbujur kaku, meninggal dalam keadaan tak terurus, tak layak dan kelaparan, siapa yang peduli dengan kematiannya?, Bahkan haknya sebagai manusia di ambil oleh mereka yang tak punya hati nurani. Mpo kirun telah tiada, ia pergi untuk selamanya, Kake pemilik toko jadi tersangka, tapi itu semua tak akan mengembalikan Raga Mpo kirun.
Lalu bagaimana dengan pengurus Panti?
Ia di tangkap dan di jebloskan ke penjara karena terbukti merampas kiriman uang dari sanak saudara untuk nenek mereka di Panti, namun di gunakan untuk kepentingan sendiri.
Mpo Kirun pergi dalam duka, meski jiwanya damai bersama tuhan.
Kita semua hidup dan akan mati, namun tingkah baik kita akan jadi saksi untuk mereka yang merasakannya.
Tamat
Cerpen Karangan: Alfred Pandie


my opinions about this short story is every human being has the right to live well, a beggar for example, there must be a reason why he was begging. The above story illustrates how sad the life of a grandmother who does not live with decent, he spent his time on the street, begging at stores and small shops. Zest for life with hard work to be an example for young people today. And wisdom that I got from the story on the last part was not suspicious because of his physical and his performance, but the look of her. Slander is very cruel than murder.

cerpen_lentera tak berujung

Lentera Tak Berujung
Kenyataan mungkin terbalik dengan keinginan. Jalan kehidupan yang tak selalu indah membuat kenyataan itu jauh dari yang diinginkan. Kehidupan memang berliku-liku, kadang pasang kadang surut. Kadang menyenangkan kadang menyedihkan. Kadang bahagia kadang duka. Namun itulah kenyataan kehidupan yang akan berjalan dengan sendirinya. Tanpa tau arah, waktu dan ruang. Dia akan berjalan sendiri sampai menemukan tempat dimana dia harus berada. Tak ada yang selalu di atas, tak ada yang selalu di bawah. Tak ada yang selalu bahagia, tak ada yang selalu menderita. Semua itu kan berakhir dengan sendirinya dan tak akan berujung oleh apapun.
Aku biasa di sapa Siska, aku tak seberuntung mereka. Kehidupan yang kuinginkan sulit untuk jadi kenyataan. Serasa kehidupan bahagia itu masih jauh di pelupuk mata. Kedua orangtuaku pergi dahulu meninggalkan aku dan Rafa adikku. Kecelakaan itu telah, merenggut nyawa kedua orangtuaku.
“Ma, Pa, kita mau kemana?”, tanyaku dingin
“cuma keluar makan aja kok sayang,”,
“Pa, awas!!!”, teriakku spontan
Seketika mobil yang kutumpangi menabrak pohon di seberang jalan, untuk menghindari truk yang tiba-tiba saja melaju cepat dari arah berlawanan. Aku langsung memeluk adikku yang tak berdaya keluar untuk menyelamatkan diri. Tanpa memikirkan kedua orangtuaku yang ada berada di depan.
“sssstttt, deeeeaaaarrrrr”
Suara itu yang tak pernah ku lupakan. Suara ledakan yang menenggelamkan kedua orang tuaku. Yang merenggut nyawa kedua orangtuaku, hingga ku menjadi seperti ini.
Memang aku dan Rafa selamat dari kecelakaan maut itu. Namun jika aku bisa memilih aku pilih mati bersama kedua orangtuaku daripada menderita dalam ketidakpastian. Aku memang masih bisa hidup layak bersama Rafa, di rumah yang kutempati dulu dengan Ayah dan Ibu. Namun gimana nanti, giamana setelah harta itu habis sedikit demi sedikit. Aku… akulah yang harus menerimanya. Aku harus menghidupi Rafa adikku. Walaupun kehidupan itu jauh dari kata layak.
Aku yang kini menempuh kuliah tulis sastra terpaksa DO untuk bisa fokus kerja menghidupi adikku, ya setidaknya uang yang kudapatkan cukup untuk biaya sekolah Rafa dan makan sehari-hari. Untuk kebutuhan lainnya aku masih menggunakan uang dari harta sepeninggalan orangtuaku, dan uang yang kusisihkan untuk persediaan nanti. Akupun terpaksa meninggalkan kekasihku Firly, karena aku takut jikalau nanti aku tak bisa membahagiakannya dengan kehidupanku yang sekarang.
“Firly, ayo ikut aku kebelakang”, sapaku dengan menariknya
“ada apa sayang?”, tanya Firly penuh tanya
“aku ingn kita berhenti sampai disini, kau tak usah bertanya mengapa. Maafkan aku, aku tak bisa kasih alasan pasti. Tapi yang pasti semua untuk kebaikan kita. Percayalah”, seruku meyakinkannya. Meski perasan sakit, untuk saat ini dibenakku hanya ada Rafa yang harus ku jaga sebagai teman hidupku yang memotivasiku untuk selalu berusaha.
Pekerjaan yang kujalani kini cukup memuaskan. Dengan dukungan adikku dan Firly yang selalu ada membantuku, aku masih bisa bertahan dan terus melanjutkan hidup ini. Meski Firly bukanlah kekasihku lagi, tapi aku cukup nyaman dengannya dengan status friend. Aku menjadi penulis di tabloid, dengan modal kuliahku tulis sastra yang juga memudahkan pekerjaanku saat ini, Sehingga bayangan ketidakpastian itu sedikit menghilang dari fikiranku.
Tiga tahun sudah kepergian orangtuaku. Tak terasa hidupku kini semakin hari semakin membaik. Akupun kembali lagi berhubungan dengan Firky. Sebab masih banyak cinta yang kusimpan untuknya. Dan Rafa adikku tak perlu lagi ikut memikirkan beban yang pernah kurasakan dulu.
“Sis”, panggil Firly menyambangiku
“ia, apa?”,
“hari ini kan kamu nggak kerja, gimana kalau kamu dan Rafa ku ajak main keluar?”
“emmmmbbbb, boleh. Lagian semenjak kejadian itu, aku dan Rafa tak pernah lagi mau jalan-jalan keluar”
Siang itu aku pergi bersama Firly dan Rafa, untuk sedikit merefreskan fikiran. Namun aku tak tau, bahwa hari ini adalah hari dimana maut akan merenggutku. Waktu itu aku yang duduk sendiri di bangku taman akan menghampiri Firly dan Rafa yang sedang asyik bermain di seberang jalan.
“Siska, ayo kesini!”, seru Firly memanggil
Aku pun berlari dengan cepatnya tanpa kusadari di ujung jalan terdapat truk yang akan menghempaskan tubuhku. Mendekat dan tubuhku tergeletak di jalan.
“Siska!”, Firly menjerit memanggilku
Berlari menyambangiku, Firly langsung mengangkat tubuhku dan membawaku ke rumah sakit. Dengan tak henti-hentinya Firly memanggil-manggil namaku untuk terus bertahan.
Tepat di pintu masuk ruang ICU. Diletakkannya tubuhku di atas ranjang dorong. Dan dilarangnya Firly untuk mengikutiku masuk keruang ICU. Detik, menit, jam telah berlalu. Penantian Firly belum juga terjawab. Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia menjerit kesakitan? Aku yang seharusnya di dalam sana bukan dia!, hati Firly merintih bersalah. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang ICU dengan berkata “kami telah melakukan yang terbaik, maaf nyawanya tidak tertolong lagi”. Firly hanya bisa diam, terkapar lemas diambang pintu. Hati bagai tak terasa, kesakitan yang terlampaui besar karena rasa bersalah.
Maafkan aku Siska, maaf, andai aku tak menyuruhmu tadi, andai ku tak memanggilmu tadi pasti semua ini tak kan pernah terjadi. Omong kosong yang hanya terlontar dari mulut Firly dihadapan Siska yang terbaring dengan wajah pucat tanpa gairah. Lalu dipeluknya, Firly hanya bisa menangis dan berharap dia kan kembali.
Sore itu pula jasad Siska disemayamkan. Air mata berderai tak terbendung lagi oleh Firly. Rafa yang melihatnyapun tak kuasa menahan tangis. Bertahun-tahun Rafa menjalani hidup hanya dengan kakaknya Siska, kini hari-harinya kan kelam oleh kenanagan atas kehadirannya.
Siska semoga kau tenang di alam sana. Aku berharap kau selalu tersenyum. Yakinlah ku kan selalu merindukanmu. Rafa akan ku jaga, dia akan tinggal bersamaku dan aku kan menyayanginya seperti kau menyayanginya. Seru Firly diiringi isak tangis dihadapan nisan persemayaman Siska.
Cerpen Karangan: Sintyawati


I can take the opinion of this short story is death or death no one knows when it all happened, pobud remorse came too late. Abandoned by the people we love is very sick. But life will go on. Live well and right with hard work without despair can certainly overcome the problems that come slowly.

cerpen_potongan yang hilang

Potongan yang Hilang
Dua tahun. Berlalu dengan cepat, layaknya laju kereta yang terisi penuh oleh bahan bakar. Sekarang boleh ku ingat apa saja yang sudah terukirkan di tembok masa yang berada di belakangku. Cat-cat itu telah mengelupas sedikit demi sedikit seiring dengan bergulirnya detik di genggaman tangan mungilku. Pernah kubayangkan, apabila tembok masa itu telah rapuh semua partikel catnya, apa itu akan membuatku mati? Ah, entahlah. Aku pusing.
Ilalang-ilalang yang melambai menghembuskan bunga lembutnya, seakan mengajakku untuk mengingat kembali masa laluku. Memaksaku untuk menyemburkan memori-memori yang bahkan sudah terjejal-jejal karena kehabisan tempat di otakku. Perlahan, jemari kedua kakiku menyeret paksa tubuh ini untuk duduk melamun di saung sederhana yang berdiri anggun di tengah ribuan ilalang yang bergelayut manja. Aku tak mengerti sekarang. Ada sesuatu yang begitu kilat berkelebat di sela pikiranku. Aneh. Apa itu? Sungguh.. batinku merancau. Aku menggeleng lemah kemudian, meyakinkan diriku sendiri bahwa sesuatu yang menyelinap itu bukanlah hal penting.
Kini, ku raba pelan dengan telapak tangan kiriku bambu-bambu yang terangkai pada saung ini. Yang membuatnya mampu bertahan sampai sekarang meski telah rapuh sebagian kayu yang dulunya kokoh. Aku tak ingat, berapa usia saung cilik ini. Mungkin sama atau lebih dari usiaku kini. Entahlah. Yang pasti, saung inilah satu-satunya tempat paling sering kusinggahi kala aku masih kecil dulu. Dan sedikit banyaknya telah menjadi bagian yang sulit di hapus dari kembang kenangan masa laluku.
Aku mendongak ke atas, menatap langit yang terselingi awan-awan berbentuk bunga kol yang terlihat begitu ceria. Aku tak sanggup menyembunyikan senyum yang menggetarkan bibir manisku. Begitu saja, aku terhanyut dalam gumpalan putih itu yang seolah menenatku dan menelanku. Semua berjalan sangat lamban, lamban dan lamban. Dan kembali ada sesuatu yang entah mengapa serasa tengah berusaha keras menyelip ke otakku. Aku memejamkan mataku penat. Gelap.
Tapi…
itu… Apa itu?
Yaak, tidak mungkin…
Kenapa dalam gulitanya pejaman biji penglihatanku, semua tampak begitu jelas? Ya, aku berhasil menangkap sesuatu itu. Entahlah. Ahh, kenapa selalu kata entahlah? Tapi, layaknya orang yang sedang menonton sebuah film di bioskop, aku melihat rekaman buram itu. Rekaman memorial di pejamnya salah satu indra yang kumiliki.
Angin sepoi yang berasal dari ayunan ilalang di sekelilingku, serasa menambah kesejukan jiwaku yang tengah bergemuruh. Aku sendiri semakin menikmati rekaman itu sambil terus menutup sepasang mata ini. Meski sejujurnya, aku sendiri masih bingung dengan apa yang ku tonton. Benar-benar tak dapat ku mengerti.
Teriakan-teriakan renyah dari seorang bocah yang berlari riang dalam rekaman mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku tertegun. Diriku sendiri? tanyaku gelisah. Jadi… apa mungkin ini ingatan masa kecilku? Bocah itu, apa benar-benar itu adalah diriku?
Ya ampun, kenapa 2 tahun tinggal di kota membuatku hampir melupakan kenangan-kenangan masa lalu?, sadarku seketika.
Kepalaku terasa berat sekarang, aku tak sanggup menahannya lagi. Rekaman itu, potret itu, benar adanya aku di 10 tahun silam. Ya. Ketika aku di selimuti kesunyian. Ketika aku masih bergelut dengan kesepian. Ketika aku, menangis hampir di tiap hari karena merasakan sesak luar biasa. Lalu, siapa yang ada di sisiku saat itu? Siapa yang menemaniku kala itu?
Aku menggeleng. Tanpa sadar air mataku menetes, seperti masa silam. Aku, ada apa denganku? Kenapa butir bening ini memaksa untuk terus mengalir?
Aku… merindukan sesuatu. Sepotong rasaku yang hilang. Entah kemana.
Tak mau terus tenggelam pada perasaanku saat ini, aku membuka mataku. Jingga memenuhi hampir separuh atap yang melayang abadi ini, taburan emas di kelopak awan membius sebagian kesadaranku. Helaan nafas berat, sesaat terdengar dari rongga paru-paruku. Aku mengerjap, meredakan perih di mataku yang tertusuk jarum-jarum halus dari udara yang bergerak. Menyisakan sembab di pelupuk.
Aku bernostalgia, mengenang indahnya keheningan hidupku dulu. Memandang lembut, siluet ranting pohon jati yang tengah meranggas rupanya. Juga ilalang yang bergoyang kesana kemari mengikuti irama sepoi yang mendesah. Sungguh menikmati senja yang kurindukan.
‘manusia, memang tak akan pernah menang dari rasa kesepiannya. Bahkan ada kalanya kita rindu dengan kesepian itu. Karena tanpa sadar, ia telah merasuk ke sela-sela alur hidup kita kapanpun ia mau. Dan jadilah ia potongan yang hilang, yang kan kau rindukan di masa mendatang.’
Cerpen Karangan: Nika Lusiyana


my opinions about this short story is a memory can not disappear just like that, there must be a time where we pobud recall those memories. A memory can make us aware of who formerly pobud accompany our days and those that exist in our ekat that time. Memories can be a great lesson for ourselves because we can learn from the experiences we've been through, to make themselves better.

cerpen_Mosaik

Mosaik
Diam-diam, Che merobek selembar kertas dari buku Matematikanya. Diraihnya pensil kayu yang sedari tadi tergeletak diam di atas meja. Pensil itu di putar-putar di sela-sela jarinya. Seperti ada jiwa yang terbangun dari tidur panjang dalam pensil itu, perlahan-lahan namun mengalir, Che mulai menulis pada lembaran kertas tadi. Tulisannya ia awali dengan catatan harian seorang gadis bernama…
Sophie
Tentang hari ini, katamu, untuk satu moment yang hanya terulang sekali setahun, perlu ada perayaan.
Sebenarnya, ingin kukatakan kalau hidup ini terlalu singkat untuk dirayakan, sesingkat pijar lilin di atas kue ulang tahun. Perhatikanlah! Hanya dengan satu hembusan nafas, semuanya selesai. Singkat bukan? Lilin itu padam, di buang ke tempat sampah, hilang, dan tak akan di kenang lagi. Lantas, apa yang mau kita rayakan hari ini? Redup pijar hidupku? Suam-suam kuku kehangatanku? Diam lilin kehidupanku? Leleh jiwaku oleh pijarku sendiri? Apa? Tak ada bukan?
Kau tentu masih ingat kata-katamu sendiri, “….segala sesuatu mengalir dan tak ada yang terulang kembali. Seseorang tidak akan pernah turun dan menginjakkan kaki pada air sama meski ia lakukan pada sungai yang sama. Air sungai yang di sentuh sebelumnya telah berlalu, mengalir jauh ke hulu dan berubah.” Kau masih ingat ‘kan?
Kamu pasti pura-pura lupa.
“Dalam peredaran zaman,” katamu lagi, “hanya perubahanlah yang ada. Tak ada yang tetap dalam hidup ini selain perubahan.”
Aku hanya mengangguk meski tak begitu mengerti.
“Pokoknya hari ini mesti kita rayakan semeriah mungkin,” serumu begitu bersemangat.
“Di mana-mana,” tambahmu lagi, “orang merayakan hari ulang tahun.”
Aku hanya bisa tersenyum melihat dirimu begitu bersemangat merayakan ulang tahunku.
Al… kau sebenarnya tahu kalau waktu selalu mengalir; mengalir dari abadi sampai pada satu batas tanpa patok. Perhitungan detik, jam, hari, bulan, tahun, dan abad hanyalah bukti kelemahan manusia di hadapan sang waktu. Kau, aku, dia dan mereka tak lebih dari satu pijar lilin kecil, jika bukan sebuah titik kecil, di dalam guliran waktu yang abadi.
Tahun tidak berulang kembali Al… apa lagi waktu. Jadi, sebenarnya untuk apa perayaan ini?
Meski demikian, kuharap kau tak bersedih atau marah saat membaca catatan ini. ‘Coz, tonight still be unforgetable night.
Aku hanya ingin sedikit mempertanyakan ini semua. Bolehkan? Thanks untuk semua yang telah kuterima darimu selama ini, khususnya untuk malam ini. Walaupun tak seperti tahun lalu; tak ada biskuit seharga lima ribu rupiah yang kau susun bagai tart kecil; tak ada lilin bekas yang berpijar indah di tengahnya; dan… tak ada ciuman yang membuat wajahku merah padam, malam ini tetaplah menjadi malam yang indah. Sebab, ada kisah indah yang telah kita tulis bersama malam ini. Andaikan aksara ini bisa berteriak ‘kan kuteriakkan isi hatiku, agar dunia tahu yang sesungguhnya. Aku mencintaimu.
Oh… ya, terima kasih juga karena engkau telah mengingatkanku tentang hari istimewa ini, ulang tahunku yang ke-21. Semua itu istimewa. Namun, tahukah kau? Dirimu lebih istimewa dari semua itu.
27 Feb ‘13
S.
Ar dan Che
“Untuk apa ini?” Tanya Ar heran, ketika Che menyodorkan kepadanya sebuah pensil kayu, jelek dan penuh bekas gigitan di ujungnya.
“Aku sudah menulis bagianku. Sekarang giliranmu,” bisik Che sambil matanya tetap mengawasi gerak dan pandangan pak Proka, guru bertubuh gemuk dan berwajah sangar dengan kumis dan jambang yang liar. Suara pak Proka mengelegar, menjelaskan pelajaran yang sama sekali tidak diminati Ar dan Che. Matematika.
“Oh… menulis kisah bersama lagi? Boleh…. Tapi tak adakah pensil yang lebih bermartabat untuk Ar, sang maestro romantik klasik?” Ar enggan menerima pensil milik Che.
“Tulis saja… jangan banyak protes. Ini kertasnya. Judulnya ‘Mosaik’. Gadisnya bernama Sophie dan kekasihnya bernama Al,” bisik Che sambil tetap mengawasi gerak dan pandangan pak Proka. Aman.
“Huu…, simpan saja pensil jelekmu itu! Aku masih punya yang jauh lebih bermartabat. Setidaknya yang bukan sekaligus makanan ringan seperti punyamu.”
Sejenak Ar membaca hasil tulisan Che tentang catatan harian Sophie. Ar menerawang, mengetuk-ngetuk pensilnya di meja, kemudian mulai menulis lanjutan kisah tersebut. Tentang Al.
Al
Sophie… sudah kukatakan, mesti ada perayaan untuk tiap moment yang terjadi sekali setahun. Lihatlah, di mana-mana orang merayakan hari ulang tahun kelahiran, pacaran, pernikahan bahkan kematian. So…, ulang tahunmu pun mesti kita rayakan, tetapi bukan karena orang lain merayakan ulang tahun mereka. Kita punya alasan sendiri dan… tentu dengan cara kita sendiri. Spesial!
Maaf, jika malam ini tak ada candle light dinner, dan semua ritual perayaannya. Yang pertama, kau sendiri tahu bagaimana isi dompetku. Yang kedua, tentu kau setuju kalau makan malam dengan lilin bernyala, kini bukanlah pilihan yang romantis lagi. Picisan. Terlalu ‘biasa’. Untuk malam yang istimewa ini, ada cara yang lebih istimewa dari sekedar makan malam dengan lilin bernyala.
Ar dan Che
“Che…, apa kau telah merancang konsep perayaan ulang tahun dalam kisah ini?” Tanya Ar sambil pura-pura merenggangkan otot-otot, mengelabuhi pak Proka.
“Tidak ada,” bisik Che sambil meyusutkan tubuhnya. “Ingat, mengalir saja dalam kisahnya.”
Ar mengangguk-angguk mengerti. Tiba-tiba ia tersenyum, lalu mulai menulis lagi.
Al dan Sophie
Tak ada ritual meniup lilin, kue tart, candle light dinner atau bright adventurous dinner. Tak ada pinata seperti di Meksiko. Tak ada telur yang diwarnai merah menyala dan mi yang tidak dipotong-potong seperti di Cina.Tak ada bendera negara di jendela rumah seperti di Denmark. Tak ada dansa waltz seperti di Ekuador dan Argentina. Tak ada nasi tumpeng seperti di Jawa. Semuanya tak ada. Lagi, tak ada yang tahu kalau mereka berdua tengah merayakan ulang tahun Sophie. Yang ada hanya selembar kertas kosong dan sebuah pensil kayu tua, yang masih dipegang Al.
“Dengarkan,” Al berlagak seperti seorang guru berbicara kepada murid. “Orang Latin bilang: ‘Fortuna Dies Natalis!’ Orang Spanyol bilang: ‘Feliz Cumplea-os!’ Orang Portugal bilang: ‘Parabens!’ Di Jerman orang bilang: ‘Alles Gute zum Geburstag!’ Em…, di Paris orang bilang: ‘Joyeux Anniversaire!’ Jika ingin di-mandarin-kan akan menjadi: ‘Qu Ni Shen Er Kuai Le!’ Kalau Socrates cs di Yunani bilang…: ‘Chronia Pola!’, Nenekku bilang: ‘Happy Birthday!!!’”
“Oh, ya…?” Shopie berusaha bersikap dingin, walau sebenarnya tengah menahan tawa. “Apa masih ada yang lain?”
“Em…,’ Al salah tingkah. Leluconnya ditanggapi Sophie datar-datar saja. Ia hampir kehilangan ide.
“Masih. Masih ada. Em…, Upin-Ipin bilang: Celamat Hali Jadiii!”
Tawa keduanya tak terbendung.
Ar dan Che
Sedetik saja pak Proka lengah, secepat kilat Ar mengembalikan lembaran kisah ‘Mosaik’ kepada Che.
“Giliranmu! Ideku sudah buntu!” Ar kehabisan ide.
“Tapi, pakai pensilmu sendiri,” tambah Ar, yang kemudian salah tingkah ketika sadar ia tengah dipelototi pak Proka. Che bertingkah seolah tidak terlibat dengan apa yang dilakukan Ar. Che masih menggigit-gigit ujung pensilnya.
Sedetik sebelum mulai menulis, Che menyempatkan diri melirik ke arah Ar. Ar langsung membalas lirikannya dengan tatapan menuduh. Che tersenyum menang, lalu mulai menulis lagi.
Al dan Sophie
“Hari ini tanggal 27, bulan Februari, tahun 2013. Kita rayakan ulang tahunmu yang ke 21. Kau tahu? Aku punya ide istimewa untuk perayaan ulang tahunmu di tahun yang sempat diramalkan tidak ada ini,” Al bersemangat.
“Oh, ya…?” tanya Sophie tanpa apresiasi untuk semangat Al. “Setahuku, kau selalu punya ide ‘istimewa’, yang jika boleh kusebut aneh, untuk setiap perayaan ulang tahunku. Kira-kira apa idemu tahun ini?” Sophie menanti jawaban.
“Untuk tahun ini, dijamin brilian. Inilah perayaan ulang tahun yang belum pernah diramalkan sebelumnya,” Al semakin percaya diri.
“Aku ingin kita bersama-sama, bergantian menuliskan sebuah kisah tentang perayaan kita malam ini. Aku menulis sepenggal, kemudian kamu sepenggal, lalu aku lagi. Kamu menulis lagi, kemudian aku lagi, lalu kamu lagi, setelah itu aku lagi. Terus dan terus begitu hingga tercipta sebuah kisah. Bagaimana?” Al mengangkat alis, bangga.
“Kisah yang kita tulis bersama? Em…, kedengarannya menarik. OK. Kita coba bersama,” Shopie tampak sungguh tertarik dengan ide Al.
“OK. Begini,” rupanya Al masih mempunyai ide. “Bagaimana kalau kita bercerita tentang orang lain, yang bercerita tentang perayaan kita malam ini?”
“Kita… bercerita… tentang orang lain… yang bercerita… tentang… perayaan kita malam ini.” Sophie berusaha mengerti ide Al.
“Apa itu akan menjadi sebuah lingkaran cerita?”
“You get it!”
“OK. Aku setuju!” Shopie semakin bersemangat.
“Em…” Sophie menggigit bibirnya sambil berpikir.
“Bagaimana kalau tentang dua orang sahabat?”
“Kenapa tidak?” Al semakin bersemangat.
“OK. Kalau begitu tunggu apa lagi? Let’s move! Tetapi, karena hari ini hari spesialku, maka akulah yang duluan menulis!”
Tanpa banyak kata, Sophie meraih kertas dan pensil dari tangan Al. Sejenak ia menerawang, tersenyum sendiri, kemudian dalam diam, mulai menulis tentang dua orang sahabat. Salah satu tokoh dalam kisah itu ia beri nama Che. Judul kisah mereka….
MOSAIK
Cerpen Karangan: Oan Wutun


my opinions about this short story is the story interesting, funny and inspiring. There are two stories that later became a story, the story of a strange but interesting. Where two lovers are celebrating his birthday in a different way.

cerpen_restu dan maaf sangat mengarukan

Restu dan Maaf Sangat Mengharukan
Herman Putranto adalah orang yang baik, guru yang disukai anak-anak didiknya. Guru teater dan sastra di SMK berasrama. Para laki-laki semua, murid-murid yang berasal dari berbagai daerah, bisa menyatu dalam pagelaran drama, merupakan karya bermutu yang juga dipublikasi media elektronik dan media cetak, membuat sekolah mengangkat dia jadi pembina OSIS. Juga memberikan kesempatan padanya untuk mengawasi setiap murid yang tinggal di asrama.
Benih cinta tumbuh di hati anak pemilik yayasan, Clarisa Vania, 22 tahun yang mau selesai kuliah dan membantu ayahnya, Pak Markus Leonard, 50 tahun bapak yang baik namun sudah menjadi agak tertutup. Bapak Clarisa itu sebelum tahu kenapa Clarisa tertarik pada Herman, sangat sering berbincang dengan Herman agar bisa memperoleh nama baik sekolah di lingkungan pemerintahan daerah maupun di masyarakat. Pak Markus suka pada ide-ide Herman, agar memberdayakan siswa yang pintar maupun yang kreatif agar mau terjun dalam tiap event yang sifatnya bertanding. Kemudian menang dan di ekspos berita. Nama sekolah juga semakin harum dan jumlah calon siswa semakin bertambah, dan tentunya pendapatan yayasan semakin tinggi. Demikian jasa Herman hingga membuat Pak Clarisa mempercayakan Herman lebih dalam daripada Kepala Sekolah Pak Yuswan.
Pak Yuswan sebetulnya tidak iri hati untuk soal itu, tetapi karena adanya perhatian Clarisa pada Herman yang membuat Pak Yuswan mulai ada niat memisahkan hubungan itu demi mencari perhatian Pak Markus. Bukan karena Pak Yuswan ingin menarik hati Clarisa sih, tapi demi mendapat bonus dari Pak Markus, dia mulai memberikan informasi yang tidak bagus kepada Pak Markus. Ibaratnya menjatuhkan nama Herman tanpa bukti yang benar. Takut jabatannya dilengserkan karena anak pemilik sekolah telah tertambat hatinya pada Herman.
Nyatanya memang begitulah Clarisa yang sudah meminta Herman menerima cintanya. Herman diharapkan bisa mendampinginya untuk bisa mengelola sekolah dan asrama dengan baik sesuai amanat Bapak Clarisa. Herman semula tidak enak hati walau akhirnya dia setuju juga. Clarisa anak baik dan punya semangat walau tidak secantik beberapa guru wanita dan kenalan Herman. Namun yang jelas hatinya baik, itulah yang membuat Herman tidak berani meninggalkan Clarisa.
Pak Markus mendapat penuturan Pak Yuswan dengan perasaan heran. “Oh, jadi ada apa-apanya antara mereka ya?” serunya sambil merenungkan masa lalunya. Jelas pengalaman buruk itulah yang membuatnya jadi pendiam dan telah memutuskan sekolahnya untuk tidak menerima murid wanita karena demi masa lalunya itu. Bukan karena ada guru yang pacaran dengan murid wanita, atau ada berita miring lain, atau ada murid-murid berhubungan gelap lalu ada yang hamil seperti berita di berbagai media, yang membuat cemar nama sekolah, tetapi justru di dalam rumah tangga Pak Markus sendirilah sebabnya..
Ingat masa lalu, ketika Clarisa masih 3 tahun dan Bapak Markus sebagai pewaris dari Sekolah yang di kelola bapaknya. Pak Markus memilih terima warisan sebagai pengelola sekolah selain perusahaan lain yang di kelola ketiga adiknya, yaitu pabrik makanan dan perabotan. Memang dia berasal dari orangtuanya yang kaya sehingga Pak Markus hidup berkecukupan hingga sekarang. Namun sedihnya, dia punya istri yang tidak setia padanya.
Memang wajah Pak Markus tidak dikaruniakan ketampanan dan kegagahan. Wajah yang sederhana dan religius ini jelas tidak membuat banyak wanita suka dan ia pun tahu kalau ada wanita yang mau jadi istrinya lantaran suka pada hartanya. Tetapi dia tidak berkecil hati dan selalu menyarankan istrinya Ayu Shinta, agar fahami dirinya dan bisa menjadi wanita ideal, alias ibu rumah tangga yang baik.
Namun perangai sang istri pilihannya itu memang tidak terlalu baik. Godaan setan yang masuk dalam diri laki-laki anggota wakil rakyat, yang seperti pribadi Fathanah atau Ariel Noah itu, telah menjerat Ayu untuk berselingkuh. Ayu Shinta menganggap suaminya hanya di rumah saja, namun di luar, dia merasa bebas dan tidak boleh tahu urusan pribadinya. Dia hura-hura hingga akhirnya dikuasai sang laki-laki perusak rumah tangganya itu.
Pak Markus akhirnya ikhlas kalau istrinya yang perangainya sama seperti Cut Tari itu, menceraikan dan melupakannya. Pak Markus tidak mau tahu apa yang akan dilakukan istrinya bersama kekasihnya. Tetapi Pak Markus meminta hak pengasuhan anaknya di tangannya, pengadilan mengabulkannya.
Namun kini Clarisa sudah 22 tahun akan di wisuda tahun depan. Masa pengabdiannya di sekolah selain demi membuat skripsi juga belajar mengelola sekolah sebagai personalia dan memperhatikan gerak-gerik guru mengajar di sekolah, merupakan permintaan Pak Markus, ayahnya. Pak Markus berharap anaknya punya jiwa kepemimpinan dan bisa bekerja keras demi sekolah yang akan disiapkan berkembang mempunyai cabang, yaitu membangun gedung baru di lokasi baru. Itulah rencana Pak Markus yang diceritakan pada anak tunggalnya itu. Clarisa memang anak baik dan sangat pengertian meski tanpa ibu kandung, bisa menunjukkan rasa hormat pada Bapaknya.
Tetapi untuk cintanya pada Herman, Clarisa meminta bapaknya agar jangan memisahkan. “Papa, boleh kan aku memilih Pak Herman, seperti papa memilih dia jadi tangan kanan papa..”
“Tidak Clarisa, papa berharap kamu bisa menemukan jodoh dari tempat lain..,” seru Pak Markus dengan tegas.
“Papa jangan memisahkan kami. Biarlah aku menjalaninya agar papa tahu, tidak gampang mendapat laki-laki yang berdedikasi seperti dia..”
Mulanya Pak Markus merenung dan menyatakan setuju. Namun karena setiap kali dia mendapat hasutan dari Pak Yuswan, kalau Herman mulai melakukan tindakan melanggar aturan seperti merelakan anak asrama keluar malam, membuat Pak Markus memaki Herman di depan Clarisa.
Pak Markus menyatakan itu demi menyelamatkan masa depan anak-anak laki-laki yang masih belasan tahun agar tidak tergoda pergaulan dunia yang mungkin bobrok. Mental yang sudah di bina di sekolah, bisa rusak dengan cepat karena arus globalisasi, yang dirasakan memang benar dan harus diterima Herman ataupun Clarisa.
Clarisa menekan Bapaknya dan memilih kabur dari rumah. Ada sandiwara yang dilakukannya bersama Herman. “Oke, aku putus dengan Herman, pa, tapi aku akan loncat dari gedung ini!”
Dan Clarisa telah melakukan tindakan nekad itu walau diungsikan oleh murid-murid sekolah pada suatu tempat. Anggapan Pak Markus, Clarisa sudah mati, karena tidak mau menuruti permintaannya.
Pak Markus mendamprat Clarisa kalau cinta buta itu tidak tepat dilakukannya pada saat itu. Harus tahu pada siapa sosok Herman yang menurut Pak Yuswan adalah playboy yang pernah memutuskan pacarnya demi perempuan lain. Namun Clarisa sudah yakin Herman tidak lagi bertingkah nakal dan sudah loyal pada pekerjaannya.
Itu masa lalu Herman yang memang Herman akui kalau masa mudanya memang pernah disukai banyak wanita. Namun tak ada satu pun wanita yang mau menjadi pasangan hidup Herman. Dia menyebut, belum ketemu jodohnya.
Herman mulai jatuh hati dan kagum pada Clarisa. Dia mulai berpikir, alangkah bangganya dia, bisa menerima seorang perempuan yang berasal dari orangtua yang kaya. Apalagi mendapat restu dari calon mertuanya.
Hitung demi hitung, toh Pak Markus tetap belum setuju dengan Herman jadi menantunya. Kejadian di sekolah dengan anak-anak yang tertangkap karena melakukan tawuran dengan anak-anak dari suatu lingkungan hingga hampir sekolah mau di serbu warga, membuat Pak Markus mau memutuskan Herman dikeluarkan dari sekolah. “Kamu jangan biarkan murid-murid sekolah keluar dari sekolah tanpa pengawasanmu, Herman!” ujar Pak Markus menekan Herman.
“Harusnya kan ada guru lain Pak yang ditugasi, jangan saya saja!”
“Kamu sudah berani membantah ya!” serang Pak Yuswan yang ikut berbicara saat Pak Markus memanggil Herman menghadapnya.
Pak Herman guru yang mulai konsisten berada dalam jalur benar ini memang harus mengalah demi menenangkan pikiran Pak Markus. Tentunya dia juga sudah mulai mendekati para muridnya. Mencari tahu seluk beluk serta mendengar curhat anak-anak asrama, merupakan jalan yang harus dilakukan Herman. Anak-anak sekolah mulai sadar akan kesalahannya dan berjanji tidak akan keluar rumah hingga malam hari. Janji itu juga dilengkapi ingin menyatakan agar Pak Herman harus bertunangan dengan Ibu Clarisa.
Pak Markus yang lebih tegang pikirannya, ketika muncul mantan istrinya itu yang meminta ingin kembali padanya. Ayu Shinta menyatakan kalau dia sudah bersalah karena terlampau bodoh menjadi simpanan laki-laki playboy yang walaupun wakil rakyat jelas tidak nyaman. Ayu Shinta merengek pada mantan suaminya agar di terima sebagai ibu bagi anaknya dan sebagai teman bagi Pak Markus.
“Terlambat, hampir dua puluh tahun hal itu tidak kamu ucapkan pernyataan maafmu, Ayu!”
Ayu punya pernyataan yang mengejutkan buat Pak Markus yang membuat Pak Markus kesal. Dia meminta sebagian harta dari rumah Pak Markus buat biaya sakit kanker payudaranya. Sesuatu yang membuat Pak Markus berpikir keras agar dia tidak mudah mengalah namun tidak boleh angkuh pada mantan istrinya. Dia harus kasihan pada Ayu yang sudah 47 tahun itu.
Herman dan Clarisa juga datang pada waktu berikutnya. Pak Markus hanya bisa berkata,” Ini masalah berat bagiku, memberi keputusan yang membuatku harus mengalah demi kalian..”
Clarisa menemui ibunya dan menyatakan kepada ayahnya, “Papa harus menerima mama, demi hidup mama..”
Tidak banyak yang bisa dikatakan Pak Markus, selain dua keputusan, istrinya akan di bawa ke rumah sakit setelah peresmian pertunangan Clarisa dan Herman. Lalu, selanjutnya…
Clarisa sukses meraih gelas S1 nya. Namun Ibunya… meninggal dunia, karena operasi yang dijalankan demi mengangkat penyakit kankernya, telah gagal. Ibu Ayu meninggal dunia. Pak Markus terharu dan menerima kalau dia masih mencintai istrinya.
Pernyataan istrinya pada masa kritisnya: Pa, mama kagum pada papa, yang ideal jadi laki-laki. Tidak pernah mama lihat, papa jauh dari kegiatan beribadah. Tidak pernah papa mencari hiburan duniawi yang merusak moral papa. Tapi papa setia pada jalan hidup yang benar. Mama salut.. Semoga Tuhan memaafkan mama dan melindungi papa dan anak kita.. Doa mama dan pertunangan anak kita, semoga mereka berbahagia sampai akhir hayatnya.
Pak Markus tetap seorang laki-laki yang punya perasaan. Juga Herman dan Clarisa. Juga Pak Yuswan dan masih banyak orang yang mengerti keadaan keluarga Pak Markus. Begitu pula anak-anak sekolah itu. Tuhan memberkati… Semoga arwah Bu Ayu tenang di sana!
Cerpen Karangan: Jovian Andreas


opinion that I can take from this short story is the blessing of the parents are very influential in the continuity of the relationship between men and women. And forgive is berbuatan very commendable, although very painful because forgive those we love Yag once have done evil to this themselves. And there is definitely an event that can take the lessons and wisdom to make it as a life lesson.


cerpen_Haru no Sora

Haru no Sora (Langit Musim Semi)
Angin lembut musim semi terasa hangat di pipiku. Mentari mulai memancarkan sinarnya. Aku duduk di balkon rumahku dengan menggunakan seragam. Iya, seragam ini. Seragam yang membuatku bangga. Entah mengapa aku bangga dengan seragam ini. Sakura High School, sekolah khusus perempuan. Seragam ini berwarna pink dengan rok di atas lutut yang bermotif kotak-kotak berwarna putih, abu-abu dan hitam. Aku masih duduk di balkon rumahku ditemani secangkir teh hijau dan dengan pemandangan matahari terbit yang indah.
“Haru-chan, ibu berangkat kerja dulu ya” Seorang wanita cantik yang awet muda dengan senyumnya yang merekah indah di bibirnya memanggilku dan mulai mendekatiku, dengan senyum hangatnya yang membuatku tersenyum, aku pun mendekatinya dan memeluknya. “Okaa-san” Aku tenggelam dalam pelukannya sambil tersenyum. Ya! betul sekali, beliau adalah ibuku. “Kau ini, sudah besar masih saja seperti anak kecil ha ha” Ibuku tertawa sambil mencium keningku, aku hanya membalas dengan ulurkan lidahku dan ikut tertawa bersama ibuku. Dan ibuku berlalu begitu saja.
Pagi ini hari pertama aku masuk ke Sakura High School. Hari pertama, apa aku sudah mendapatkan teman? Hmm entahlah. Hari ini Oto-san tidak bisa mengantarku pergi ke sekolah. Tadi malam ayah pulang sangat larut, kasihan ayah, bekerja keras demi menghidupi ibuku, aku dan kembaranku.
Tentang kembaranku. Bisa di bilang dia itu kakak aku. Dia laki-laki, namanya Sora Watanabe sedangkan aku? Haru Watanabe. Kakak itu kakak yang baik, ga semua kakak bisa seperti dia dan bla bla bla. Aku sedang tidak ingin membahas tentang kebaikan dirinya. Aku sedang kesal dengannya, karena ia masuk ke Shounen High School yang hanya untuk laki-laki saja. Huh, akhirnya aku balas dendam kepadanya! Aku juga masuk sekolah khusus perempuan! Padahal aku ingin satu sekolah dengannya lagi, dari kami di taman bermain sampai kami masuk sekolah menengah kami selalu bersama dan masuk sekolah yang sama. Tapi mungkin ada sisi baiknya, dia bisa mempunyai teman banyak tanpa harus ada aku disisinya. Seperti yang lalu saat kami masih satu sekolah, dia tidak punya teman karena aku selalu mengancamnya jika dia tidak bersamaku di manapun. Aku hanya ingin selalu bersama dengan kembaranku, tapi aku baru sadar, memang tidak baik jika melarang orang untuk tidak berteman dengan siapa-siapa apalagi dia kakakku. Dulu ketika kami di sekolah dasar aku selalu memarahinya jika dia meninggalkanku, tapi mengapa dia tidak marah juga ya? Padahal aku selalu memarahinya, selalu manja kepadanya, kenapa? Hmm mungkin ini perasaan seorang kembaran dan seperti yang tadi aku bilang, dia itu kakak yang baik dan ga semua kakak sepertinya.
“Haru-san, Sora-san! Ayo berangkat!” Teriak Ojii-san dari parkiran di halaman depan rumah. “Matte ojii-san!” Teriakku dari balkon kamar.
Di dalam perjalanan menuju sekolah kami hanya terdiam tanpa sepatah kata sekalipun. Tiba-tiba Sora nii-chan membuka percakapan “Haru-chan, apa kau baik-baik saja?” Tanya Sora nii-chan kepadaku. Tapi aku sama sekali tidak menjawabnya dan hanya berlalu menatap ke arah jendela dan menikmati suasana pagi di kota Kyoto ini, sampai akhirnya ia memanggil nama lengkapku dengan nada yang cukup tinggi “WATANABE HARU-SAN, APA KAU BAIK-BAIK SAJA?” Aku pun kaget lalu menunduk dan membalas pertanyaannya. “Hai nii-san, aku baik-baik saja” dengan senyum yang kupaksakan aku tersenyum kepadanya lalu kembali menunduk. Mungkin ia merasa bersalah kepadaku lalu meminta maaf kepadaku “Gomen-ne, Haru-chan. Apa aku ada salah kepadamu?” Aku hanya menggeleng.
Sesampainya kami di Shonen High School, aku melihat di sana sama sekali tidak ada perempuan. “Haru-chan, aku pergi dulu ya. Jaga dirimu baik-baik, aku yakin kau akan dapat teman.” Ia mengacak-acak rambutku pelan sambil tertawa. Onii-chan membuka pintu mobil dan pamit kepadaku, seketika itu juga aku menahan lengannya untuk pergi. “Nii-chan, aku takut.” ia hanya tersenyum menatapku. Ia keluar dari mobil dan menuju ke arah gerbang sekolahannya, iya melambaikan tangannya kepadaku. Ketika ia akan memasuki gerbang akupun berlari sekencang-kencangnya dan memeluknya dari belakang. “Kakak, aku takut. Aku takut jika tidak ada kau disisiku, aku takut aku tidak punya teman. Aku takut kau melupakanku.” Ia membalikkan badannya dan memelukku “Haru-chan, kau tidak boleh seperti itu, pasti ada yang mau berteman denganmu, dan pasti aku tidak mungkin melupakanmu, karena kau adikku” Ia tersenyum dan berlutut kepadaku untuk mencoba melerai tangisku yang semakin menjadi-jadi. Dan akhirnya ia bisa membuatku tersenyum kembali, sampaiku sadari banyak mata yang sedang melihat ke arah kami. Aku pun langsung lari menuju mobil.
Hari ini hari yang sangat dramatis, adikku akhirnya jujur kepadaku tentang apa yang ia rasakan selama liburan ini. Huh, memang sakit untuk melepasnya, tapi inilah satu-satunya jalan untuk kami menuju masa depan yang lebih baik dan lebih mandiri. Bagaimana ya dia sekarang? Apakah dia mempunyai teman? Argh, mengapa sangat sulit untuk tidak terlalu over protektif kepadanya? Dia memang adikku! Dia memang kembaranku, tapi bukan berarti aku harus selalu melindunginya! Iya memang aku harus melindunginya tapi sama saja aku menghancurkan masa depannya jika terlalu over! Lalu bagaimana? Apa aku harus melepasnya begitu saja? Tapi itu sangat sulit untukku! Atau mungkin aku harus melepasnya pelan-pelan dan melindunginya diam-diam. Ah, benar! Itu cara terbaik!
“Melindungi orang yang kita cintai itu perasaan yang tidak bisa kita jelaskan, namun jika kita membiarkannya itu memang terlalu sakit. Usahakan jangan over bro” Suara seseorang terdengar jelas di telingaku, aku lihat ada seorang laki-laki berada di sampingku “Maaf, anda siapa ya?”. “Aku Kenta, kau Sora dari kelas 1-1 kan?” Jawabnya dengan tenang. Belum aku menjawab ia sudah berbicara kembali “Terkadang perasaan seorang adik dan kakak itu begitu kuat, sehingga kita susah untuk melepasnya pergi begitu saja, oh ya sedang apa kau berada di sini? Semua siswa pergi ke kantin setiap waktu istirahat dan kadang juga bermain basket di lapangan basket belakang dan jarang sekali ada yang berdiam diri di koridor seperti kau” Ia menatapku dengan tatapan tajam dan berlalu begitu saja dengan senyum liciknya. “Matte! Kenta-kun!” Ia menghentikan kakinya tanpa menoleh sedikit pun. “Haha, susah untukku jelaskan.” Aku pun mengikutinya dari belakang, ada yang aneh dari orang itu, mengapa dia bisa tau?.
Bell tanda masuk berbunyi dan aku melihatnya, Kenta! Ternyata dia teman satu kelasku, dia duduk di kursi paling belakang dalam barisanku. “Kenta-kun!” Aku berjalan mendekatinya sambil memanggilnya. “Ada apa?” Ia nampak berbeda, jika di kelas ia seperti tak peduli apapun, jika sedang berdua denganku mengapa dia punya imej yang mungkin tak sopan tapi baik. Entahlah apa yang harus kulakukan, aku ingin meminta nomor teleponnya dan belum sempat aku berbicara ia sudah memberiku kertas yang bertulisan nomor hp, “noomor siapa?” dengan wajah polosku aku bertanya kepadanya. “Kau ingin meminta nomor hpku kan? itu” Sambil menunjuk ke kertas tadi. Dan sekali lagi, Kenta! Kau membuatku menjadi seperti orang bodoh.
Tadi pagi itu sangat dramatis, aku terlalu manja kepada kakakku dan aku malu di lihat banyak laki-laki. “Huaaah rasanya ingin mati saja” di koridor yang sepi aku berteriak sekencang-kencangnya dan aku tak sadar sebetulnya ada orang di sampingku dari tadi. “Kau?” aku kaget dan dia tersenyum kepadaku. “Hai, namaku Aiko ~ Murakami Aiko. Senang berkenalan denganmu” Ia membungkuk 90 derajat kepadaku, aku hanya terdiam dan membisu. Dia bangkit lagi dan bertanya “Kenapa kau ingin mati?” dengan ketusnya aku menjawab “Tidak ada apa-apa” dan berlalu begitu saja. Tapi aku merasa bersalah, apa yang harus aku lakukan? Aku terlalu egois! Aiko maafkan aku!.
Waktunya pulang, aku sama sekali tidak memperdulikan teman-teman di kelasku. Aku langsung pergi begitu saja ketika bel penanda pulang berbunyi. Di depan gerbang aku lihat ada perempuan beramput panjang sepinggang dan di gerai, begitu indah. Sepertinya aku mengenalnya. Aiko? Aku langsung berlari ke arahnya dan ternyata benar, dia Aiko. “Aiko, aku minta maaf ya, tadi aku sedang kesal. Gomen” Aku membungkuk 90 derajat di hadapannya dan dia ikut membungkuk sebentar dan kembali mengangkat tubuhku untuk tegak. “Gapapa, oh ya siapa nama kamu?” aku kembali membungkuk “Watashiwa namae wa Watanabe Haru desu” aku menatapnya dan dia tersenyum padaku. “Watanabe Haru, nama yang indah” Aku pun tersenyum kepadanya “Arigatou ne”. “Watanabe Haru, arti namamu batas seberang musim semi? Indah sekali” “Murakami Aiko, kampung atas yang terkasih? Sangat indah.” Kami pun tertawa bersama-sama dan melupakan kejadian tadi, ternyata dia baik. Ia meninggalkanku kertas yang berisikan namanya, alamatnya dan nomor hpnya. Benar kata nii-chan. Aku pasti akan dapat teman dan aku bersyukur mendapat teman yang baik seperti Aiko.
Cerpen Karangan: Norwinda Ekasaptia Purnama


my opinions about this short story is the twin brother pobud definitely feel the pain if there is a definite feel of them as well. And there is a very interesting phrase. "Protecting the people we love the feeling that we can not explain, but if we let it was too painful." These words are very appropriate to protect what we think we want the people we love, but if it is too over will cause discomfort. For that protect the good way would be someone that would be comfortable.
Humans are social beings, and therefore we need each other, never afraid of not getting a friend because basically every man definitely needs a friend.

cerpen_mata sayu itu bercerita




Mata Sayu Itu Bercerita

Mata sayu itu banyak bercerita. Walau kami sekali pun belum pernah bertegur sapa, apalagi berbincang-bincang bak kawan lama.
Ia selalu duduk di sana, di meja paling pojok. Sering kali ia menyandarkan kepalanya di dinding kaca, membiarkan rambut panjangnya yang terurai menyentuh dinding itu, seakan mewakili dirinya untuk selalu mengawasi jalan di luar sana. Seperti itu. Selalu seperti itu.
Awalnya, kupikir ia seorang karyawati baru di salah satu kantor yang ada di seberang jalan. Ya, tentulah aku menduga serupa itu. Sebab baru kali itu kulihat ia di café ini. Telah berapa lamakah aku menghabiskan hari-hariku di sini? Tiga tahun, empat tahun, atau mungkin telah lima tahun? Aku sendiri hampir lupa, berapa lama aku mendedikasikan hidupku untuk sesuatu yang disebut pekerjaan dan pastinya, baru kali itu aku melihatnya di sini, di café langgananku.
Ia selalu duduk di bangku yang sama, menu yang sama: secangkir kopi dan sepotong kue—yang nyaris selalu tak ia sentuh. Mata sayunya selalu fokus menatap jalanan di luar sana, seolah-olah tengah menghitung berapa mobil yang lewat. Ah, tidak. Tentu dia menunggu seseorang.
Ya, mungkin saja ia tengah menunggu seseorang. Kekasihnyakah? Suami. Teman. Rekan bisnis. Ah, aku lebih yakin ia tengah menunggu kekasihnya. Mungkin mereka telah membuat janji untuk bertemu di café ini. Sayangnya, duga itu harus kubuang jauh-jauh. Berapa lama seseorang mau menunggu kekasihnya menempati janji kencan mereka? Satu hari, satu minggu, satu bulan, atau seperti perempuan itu yang telah tiga bulan setia menunggu di sini. Saban petang saat jam berada di angka empat sampai enam. Ah, tentu ia seorang kekasih yang demikian setia.
Namun, lama-lama aku menjadi iba dengan dirinya. Ah, tidak. Mungkin pula tertarik atas perilakunya. Oh, tidak-tidak. Aku, aku suka dengan matanya. Sepasang mata sayu yang setia mengawasi jalan di luar sana, mata sayu yang tiba-tiba begitu banyak melontarkan cerita. Mata sayu itu begitu mencuri perhatianku.
***
Mulanya, aku tak bisa memahami cerita dari mata sayu itu. Lalu, mataku menafsirkannya dengan begitu baik. Dan aku terhanyut, tersentuh hingga selalu rindu untuk mendengar cerita dari mata sayu itu.
Cerita pertama yang aku dengar dari mata sayu itu adalah tentang alasan mengapa perempuan itu duduk di sini, menatap jalanan, dan memilih jam di antara pukul empat sampai enam petang.
Rupanya, dugaku sedikit benar. Ia memang menunggu seseorang. Sayangnya, ketika kutanya mata itu: siapakah yang ia tunggu? Mata itu bungkam dan tak ingin bercerita. Mungkin, terlalu sukar baginya untuk menyebutkan nama seseorang yang ia tunggu itu.
Ketika aku tak memaksa untuk menyebutkan orang yang ia tunggu itu, mata sayu itu kembali mau bercerita. Katanya, ia selalu datang ke sini untuk menjumpai seseorang, seseorang yang telah mencuri perhatiannya. Seseorang yang telah menorehkan sesuatu yang begitu dalam di hatinya. Ah, tentu itu cinta, tebakku. Mata sayu itu terdiam, cukup lama dia diam, mungkin ia mengingat atau merenungkan ucapan yang baru saja aku lontarkan: apa mungkin memang cinta yang tertoreh di sana?
Bisa jadi. Bisa jadi memang cinta yang tertoreh di hati, ujar mata sayu itu. Aku tersenyum kecil mendengar itu. Ya, siapa yang sudi menunggu berhari-hari untuk seseorang yang tak begitu penting? Tentulah hanya karena cinta yang dapat menyebabkan seorang perempuan seperti pemilik mata sayu itu, rela menghabiskan tiap petangnya hanya untuk menunggu seseorang yang tak pasti kapan datangnya. Cinta. Hanya alasan itu sajalah yang bisa membuat orang berbuat serupa itu.
Tentu seseorang itu lelaki yang tampan. Oh, apakah ia laki-laki? Ah, mata sayu itu tiba-tiba merona, seperti ada binar-binar yang meletup dan begitu bergairah di dalam retinanya saat aku menebak seseorang itu lelaki yang tampan. Baru kali itu, ya baru kali itu, aku melihat mata sayu itu berbinar: cantik dan terasa sangat hidup, menyulut suatu gairah yang bersemayam dalam dadaku. Pipinya ikut-ikutan merona, mata itu mengangguk kecil. Ah, ia mengiyakan tebakanku. Aku tepat menebak seseorang yang ia tunggu itu: seorang laki-laki tampan yang telah mencuri hatinya. Oh, ini kisah cinta yang romantis.
Tapi, bukan ketampanan lelaki itu yang membuat mata sayu itu tertarik kepadanya. Aku jadi terdiam ketika mata sayu itu mengungkapkan hal itu. Lantas, apa penyebabnya? Apa wangi tubuh seseorang itu? Ya, ya, bisa juga. Bukankah perempuan suka dengan bau laki-laki? Bau yang menggelitik hidung dan menggelinjangkan jantungnya. Oh, rupanya bukan pula, mata sayu itu menggeleng. Kalau bukan wangi tubuhnya lantas apa? Aha, biar kutebak lagi, tentu postur tubuh seseorang itu. Apakah ia lelaki berbadan atletis? Dada bidang yang begitu kekar, banyak bulu di sekujur tubuhnya, rahang kuat yang menonjol. Oh, perempuan memang akan tergila-gila dengan lelaki serupa itu, berbadan bagus, wajah tampan, apalagi? Tentu ia lelaki yang sempurna.
Bukan pula! Lalu, apa penyebabnya? Mata sayu itu tersenyum malu-malu, ah manis sekali ketika ia tersipu seperti itu. Seperti gadis ABG yang kali pertama jatuh cinta dan seorang pemuda impiannya mengirimi sepucuk surat.
Oh, kau suka matanya. Ya, aku tahu. Mata memang sesuatu yang indah. Apakah mata lelaki itu indah? Mata sayu itu mengangguk, ia melukiskan betapa indah mata seseorang yang ia tunggu itu. Matanya coklat dengan bagian putih yang teramat bersih. Mata yang begitu mempesona, mata yang sangat pandai mengisahkan segala harapan yang ada, mata yang selalu membuatnya tak sabar menunggu hari esok untuk berjumpa, mata yang menyemangatinya untuk datang lebih awal, mata yang selalu mengajarinya untuk tak lelah, mata yang kerap melambungkan imajinasinya. Mata itu, mata sayu milik lelaki yang ia tunggu. Ah, mata sayu itu kembali berbinar ketika ia menyebut keindahan mata seseorang yang ia tunggu itu. Aku jadi membayangkan mata seseorang itu.
Apa matanya seperti mata sayumu? Mata yang begitu indah dengan kisah-kisah yang sangat menghanyutkan. Oh, tidak. Benarkah? Benarkah jauh lebih indah dari matamu yang sudah begitu mempesona? Ah, mata sayu itu mengangguk penuh keyakinan. Tak dapat aku bayangkan mata seseorang itu kalau matanya jauh lebih indah dari mata sayu perempuan ini. Alangkah sulit melukiskan mata yang jauh lebih indah dari matanya, sebab bagiku mata sayu itu sungguh mata yang luar biasa indahnya, kalau ada yang lebih indah. Oh, kanvas mana yang bisa menampungnya? Kuas mana yang bisa menggoreskannya? Pantaslah kalau mata sayu itu begitu menyukai seseorang yang ia tunggu itu. Pantaslah. Sangat pantas.
Kini, barulah kupaham, mengapa perempuan pemilik mata sayu itu rela berhari-hari menunggu seseorang itu. Ia seseorang yang sangat istimewa, seseorang yang telah menorehkan sesuatu dalam hatinya, mencuri perhatiannya. Seseorang yang memiliki mata yang begitu indah, mata yang telah membetot mata sayu perempuan itu. Mungkin, jika aku yang menjadi perempuan itu, aku pun akan melakukan hal serupa, menunggu dan akan selalu menunggu seseorang bermata indah dan penuh cerita itu kembali dan bercerita lagi.


Itulah mengapa aku semakin rajin datang ke café ini setelah pulang dari kantorku di seberang jalan sana. Aku ingin menemui mata sayu itu, mendengarkan kembali cerita-ceritanya dan menikmati betapa indah bola matanya. Selain itu, aku ingin menemaninya menunggu seseorang itu, tentu ia lelah dan kesepian jika menunggu seorang diri. Dan juga, aku penasaran dengan seseorang yang ia tunggu itu: apa benar seseorang itu memiliki mata sayu yang jauh lebih indah dari matanya? Aku ingin menyaksikan sendiri keindahan mata seseorang itu dan juga menyimak cerita-cerita dari mata itu, tak hanya sekedar cerita dari mata sayunya.
***
Sejak jarum jam tepat di angka empat sore, aku telah duduk di bangku ini. Sengaja aku memilih meja yang paling dekat dengan meja yang saban petang ditempati pemilik mata sayu itu. Niatku telah bulat, aku ingin sekali bercerita langsung kepadanya, bukan hanya lewat mata sayunya. Sayang, rupanya petang ini aku harus kembali kecewa. Lagi-lagi, ia tak datang. Seperti petang-petang sebelumnya. Satu minggu sudah mata sayu itu hilang dari pandanganku.
Oh, ke mana rupa mata sayu itu? Apakah ia mulai lelah bercerita? Mungkin pula ia telah letih menunggu seseorang yang tak kunjung menemuinya itu. Atau, ceritanya telah tamat, hingga ia merasa tak ada gunanya duduk di café ini lagi sebab tak ada cerita yang bisa ia uraikan kepadaku.
Ah, aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan setia menunggunya, mungkin bukan petang ini, bisa jadi ia tengah sibuk, banyak pekerjaan, atau ada halangan yang menyebabkan ia tak bisa datang. Mungkin. Mungkin saja. Mungkin saja ia akan datang besok petang. Besoknya lagi atau besoknya lagi.
Aku akan menunggu mata sayu itu kembali, kembali bercerita banyak hal kepadaku, tentang seseorang yang ia tunggu. Tentu saja, untuk memastikan apakah ia datang atau tidak, aku harus menunggunya di café ini, di meja paling pojok. Meja yang bisa membuatku leluasa menatap jalanan di luar sana. Dari jam empat sampai enam petang, aku harus di sini, memesan kopi dan sepotong kue, lalu menyandarkan kepala di dinding kaca sembari memutar kembali semua cerita yang ia uraikan di mataku: mataku yang menjadi sayu karena hanyut akan cerita-ceritanya itu. (*)
/C59, ditulis dari pojok café yang sepi, Januari 2010.

my opinions about this short story is that love a puzzle. Puzzle that is difficult to guess by anyone, want men and women. Love is blind because of it we often do strange things that sometimes do not make sense. Wait it is very tedious but not for love, for those who love to feel the wait was a beautiful thing. Moreover, waiting for someone we love. Being faithful is not easy but with a lack of will certainly become easier